nasional

SPI: Pelarangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng: Momen Perombakan Kebijakan Persawitan di Indonesia

Senin, 25 April 2022 | 15:00 WIB
Ilustrasi pelarangan Crude Palm Oil (CPO) (Pixabay)

Bisnis Bandung - Jumat 22 April 2022, Presiden Jokowi menegaskan, ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan minyak goreng dilarang total. Larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan minyak goreng berlaku mulai 28 April 2022 mendatang hingga batas waktu yang belum ditentukan.

Jokowi menyatakan keputusan Pelarangan Ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan minyak goreng itu dilakukan supaya pasokan minyak goreng di dalam negeri kembali melimpah dan harganya murah.

Menanggapi hal ini, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menegaskan, kebijakan pelarangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan minyak goreng oleh Presiden Jokowi ini tidak hanya berdampak bagi harga sawit dan minyak goreng di pasar dunia, tapi juga harga di dalam negeri.

Baca Juga: Dugaan Kasus Korupsi Ekspor Minyak Goreng, Kata Muhammad Luthfi, Loyalitity Is Top Down bukan Bottom Up

“Tentu saja akan terjadi banjir produksi CPO di dalam negeri. Pada tahun 2021, total produksi CPO Indonesia diperkirakan mencapai 46,89 juta ton, sementara konsumsi nasional untuk agrofuel dan pangan diperkirakan 16,29 juta ton. Artinya terdapat 30 juta-an ton yang selama ini dialokasikan untuk diekspor,” tegasnya

Henry Saragih kembali menegaskan, kebijakan ini tentu berdampak kepada petani sawit anggota SPI.

"Hari ini hasil laporan petani anggota SPI di berbagai daerah seperti Riau, Sumatera Utara, harga tandan buah segar (TBS) sawit seharga Rp1.700 - Rp 2.000 per kg, sudah terkoreksi ada yang 30 %, bahkan sampai 50 %," katanya.

Henry Saragih menyampaikan, kebijakan pemerintah ini harus diikuti dengan kebijakan turunan selanjutnya yang bisa menjamin harga tandan buah segar (TBS) petani sawit tetap layak.

Baca Juga: Presiden Joko Widodo Titah Aparat Penegak Hukum Usut Hingga Tuntas Kasus Mafia Minyak Goreng

“seharusnya perkebunan sawit diurus oleh rakyat, didukung oleh pemerintah dan BUMN, bukan oleh korporasi,” tegasnya.

Henry memaparkan, saat ini korporasilah yang menguasai perkebunan sawit di Indonesia. Dalam prakteknya terjadi banyak pelanggaran.

“Saat ini perkebunan sawit korporasi telah mengubah hutan menjadi tanaman monokultur, menghilangkan kekayaan hutan kita, juga sumber air berupa rawa-rawa, sungai dan sumber-sumber air lainnya. Korporasi sawit juga terbukti telah menggusur tanah petani, masyarakat adat dan rakyat, sampai merusak infrastruktur di daerah,” paparnya.

“Sudah benar kebijakan moratorium sawit yang melarang perluasan izin perkebunan sejak tahun 2017-2019, dimana ditemukan ada 1,7 juta hektar lebih perusahaan sawit yang melampaui HGU yang mereka miliki dan 3 juta hektar sawit di dalam kawasan hutan,” sambungnya.

Henry juga menyinggung kesejahteraan buruh-buruh korporasi sawit yang ditelantarkan.

Baca Juga: Harga Minyak Mentah Turun 5% Setelah IMF Memangkas Perkiraan Pertumbuhan Global

Halaman:

Tags

Terkini