“Warga sudah sadar dan menilai karakter bupati tidak sesuai dengan janji kampanye,” ujarnya.
Ketika tuntutan warga bergeser ke desakan mundur, Bivitri melihat ini sebagai indikasi diskoneksi antara bupati dan masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi.
Sikap menantang dari bupati terhadap warga justru memperparah ketegangan.
“Ini gerakan warga yang mulai menghubungkan kehidupan sehari-hari mereka dengan pejabat yang dipilih. Kalau ada dugaan lain silakan dianalisis tapi ini jelas sinyal bahwa masyarakat tidak puas,” jelas Bivitri.
Baca Juga: Pelaku Usaha Panik, PHRI Desak Aturan Royalti Musik Diperjelas untuk Hindari Salah Tafsir
Terkait kemungkinan adanya tekanan politik dari partai atau pemerintah daerah, Bivitri mengaku sudah mendapat informasi bahwa pembatalan kebijakan itu juga melibatkan diskusi dengan partai Gerindra dan pejabat terkait.
“Ini adalah reaksi positif dari sistem politik kita dimana aspirasi rakyat didengar dan diproses meski lewat jalur politik vertikal,” tambahnya.
Dalam hal sensitivitas pejabat publik terhadap kepentingan rakyat, Bivitri menilai masih sangat kurang.
Kepala daerah yang kurang kreatif dan inovatif seringkali memilih jalan instan yakni menaikkan pajak yang memberatkan masyarakat.
“Kalau tidak ada industri atau sumber PAD lain pajak adalah cara mudah tapi menyiksa warga,” katanya.
Baca Juga: Data Ekonomi Dinilai Tak Sinkron, CELIOS Khawatir Jadi Alat Narasi Politik
Kenaikan tarif PBBP2 secara tiba-tiba hingga 250% tanpa sosialisasi yang memadai dianggap sebagai bentuk ketidakpekaan bupati terhadap kondisi ekonomi warga.
Meskipun sudah dibatalkan dan permintaan maaf sudah disampaikan kemarahan publik belum juga mereda.
Bivitri mengingatkan bahwa isu kepercayaan publik (trust issue) terhadap pejabat sangat penting dan sulit dipulihkan terutama bagi bupati yang masa jabatannya belum genap satu tahun.
Baca Juga: Celios Laporkan Ke PBB, Ada Anomali Data Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang Dirilis BPS