bisibandung.com - Forum Purnawirawan TNI secara resmi mengajukan tuntutan pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Tindakan ini memicu perhatian publik dan pemangku kepentingan, mengingat proses pemakzulan merupakan mekanisme konstitusional yang kompleks serta jarang digunakan dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.
Menanggapi tuntutan tersebut, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti memberikan pandangan dari sisi yuridis.
Ia menjelaskan bahwa pemakzulan terhadap Wakil Presiden dimungkinkan dilakukan tanpa harus mencakup Presiden, mengacu pada konstitusi yang menyebut "Presiden dan/atau Wakil Presiden." Artinya, proses hukum terhadap salah satu jabatan dapat berjalan secara mandiri.
Baca Juga: Kritik Kebijakan Mendagri, DPRD Jawa Barat Pilih Rapat Efisien tanpa Anggaran Hotel
“Jadi tidak harus misalnya harus ada dulu pelanggarannya yang sudah berkekuatan hukum tetap misalnya begitu kan biasanya kalau untuk mencalonkan diri jadi anggota legislatif, begitu ya. Tapi ini untuk Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti itu,” jelasnya dilansir dari youtube Kompas TV.
Bivitri juga memaparkan bahwa terdapat beberapa kategori pelanggaran yang dapat menjadi dasar pemakzulan, antara lain pelanggaran hukum, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden.
Dari aspek ini, ia menekankan bahwa tidak dibutuhkan terlebih dahulu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap untuk memulai proses tersebut, karena mekanisme hukum akan dijalankan melalui Mahkamah Konstitusi setelah DPR memprosesnya secara politik.
“Nanti DPR kemudian yang akan mengirimkan ke MK. MK yang akan memeriksanya nanti secara hukum,” jelasnya.
Baca Juga: Tunggu Kesepakatan Megawati? Pengamat Bongkar Alasan Prabowo Tunda Reshuffle
Dalam konteks tuntutan pemakzulan yang diajukan Forum Purnawirawan TNI, salah satu dasar yang diangkat adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang menjadi landasan hukum bagi pencalonan Gibran dalam Pilpres 2024.
“Tapi memang secara apa ya, secara hukum belum pernah ada pasal atau putusan yang bilang bahwa putusan 90 itu salah, walaupun ada putusan Majelis Kehormatan MK untuk pamannya Gibran waktu itu. Nah, berarti itu butuh proses politik lagi,” ungkapnya.
Bivitri menyoroti bahwa meski tidak ada pembatalan resmi terhadap putusan tersebut, terdapat catatan etik dari Majelis Kehormatan MK terhadap hakim yang terlibat, yang menjadi bagian dari kompleksitas hukum dalam kasus ini.
Baca Juga: Warga Geram dengan Pelayanan Dukcapil di Kantor TangCity Mall, Datang Pagi Tetap Ditolak