Refly Harun Tepis Pernyataan Qodari: Jangan Sampai Keliru, Saya Orang Hukum Tata Negara

photo author
- Minggu, 15 Juni 2025 | 13:00 WIB
Pakar hukum tata negara Refly Harun (dok youtube Indonesia Lawyers Club)
Pakar hukum tata negara Refly Harun (dok youtube Indonesia Lawyers Club)

bisnisbandung.com - Pakar hukum tata negara Refly Harun menanggapi pernyataan Qodari yang menyebut tidak adanya dasar hukum untuk pemakzulan Presiden atau Wakil Presiden, termasuk dalam konteks Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Ia menegaskan bahwa konstitusi Indonesia secara tegas mengatur mekanisme pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden melalui prosedur gabungan antara aspek hukum dan politik.

Dalam penjelasannya, Refly menyampaikan bahwa secara teori hukum tata negara, terdapat dua model utama dalam proses pemberhentian kepala negara: forum privilegiatum dan impeachment.

Baca Juga: Qodari Tegaskan Belum Ada Dasar Hukum dan Politik untuk Impeachment Gibran

“Jadi begini, jangan sampai keliru ya. Trust me, saya orang hukum tata negara. Jadi dalam soal pemberhentian seorang pejabat publik yang bernama Presiden itu dikenal dua pola. Yang namanya forum privilegiatum dan yang kedua adalah impeachment atau pemakzulan,” jelasnya di ILC.

Forum privilegiatum merupakan model yang menekankan proses hukum melalui lembaga yudisial, sementara impeachment merupakan proses politik yang biasa diterapkan dalam sistem presidensial seperti di Amerika Serikat.

“Dua pertiga dari Senat harus setuju dengan dakwaan dari The House of Representatives, dan dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung. Itu mostly politik, karena hanya pemungutan suara saja. Siapa yang banyak, dia yang menang,” terangnya.

Baca Juga: “Fufufafa Cuma Omongan Saja” Waketum Projo Tegaskan Pemakzulan Gibran Harus Ada Pelanggaran Hukum

Refly menjelaskan bahwa Indonesia tidak sepenuhnya menganut salah satu dari dua model tersebut, tetapi mengadopsi keduanya secara selektif.

Dalam sistem Indonesia, Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga kunci yang memeriksa dan memutuskan apakah Presiden atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran berat, seperti korupsi, suap, pengkhianatan terhadap negara, tindakan tercela, atau tidak memenuhi syarat jabatan.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bersifat final dan mengikat dari sisi hukum. Selanjutnya, proses berlanjut ke ranah politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang dapat mengusulkan pemberhentian kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

MPR kemudian menggelar sidang pemberhentian yang melibatkan anggota DPR dan DPD untuk menentukan keputusan akhir.

Baca Juga: Rocky Gerung Menduga Presiden Prabowo Belum Capai Kesepakatan dengan Megawati

“Karena itu, kita mengombinasikan keduanya. Jadi forum privilegiatum-nya di mana? Di Mahkamah Konstitusi. Begitu, Bung Qodari,” lugasnya membalas pernyataan Qodari.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Durotul Hikmah

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X