investasi

BI Borong SBN Rp200 Triliun, LPEM UI Ingatkan Bahaya Fiscal Dominance

Sabtu, 6 September 2025 | 20:30 WIB
Gedung Bank Indonesia (Tangkap layar YouTube CNN Indonesia)

 

bisnisbandung.com - Bank Indonesia (BI) semakin agresif membeli surat berharga negara (SBN) untuk mendukung program ekonomi kerakyatan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Hingga awal September 2025, bank sentral tercatat sudah menyerap SBN di pasar sekunder senilai Rp200 triliun.

Langkah ini dinilai dapat membantu pendanaan berbagai program pemerintah, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terkait risiko moneter dan stabilitas pasar keuangan.

Baca Juga: Mahasiswa Terbelah! Ikrar Nusa Bhakti Ungkap Politik Uang di Tubuh BEM

Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Syahda Syabrina, menilai pembelian SBN dalam jumlah besar oleh BI bukanlah hal baru di level global.

Negara-negara maju seperti Jepang, Inggris, Kanada, hingga Australia bahkan memiliki porsi kepemilikan obligasi pemerintah oleh bank sentral yang mencapai lebih dari 25 persen. Jepang, misalnya, sudah menyentuh angka 52 persen.

Namun, kondisi tersebut hanya bisa dilakukan negara dengan fondasi ekonomi kuat, mata uang yang dipercaya dunia, serta pasar obligasi yang dalam.

Baca Juga: Hotman Paris Klaim Bisa Buktikan Nadiem Makarim Tidak Korupsi dalam 10 Menit

Indonesia dinilai belum memiliki kapasitas serupa sehingga langkah BI bisa dibaca sebagai indikasi dominasi fiskal atau fiscal dominance.

Jika label ini melekat, risiko yang muncul antara lain pelemahan nilai tukar rupiah, penurunan kepercayaan investor, serta tergerusnya kedalaman pasar obligasi domestik.

“Jadi urgensinya apa untuk membeli obligasi saat ini? Apakah pembelian obligasi ini untuk meredam tingkat depresiasi rupiah yang sedang melonjak?” ujarnya dilansir dari youtube CNN Indonesia.

Syahda menekankan perlunya kehati-hatian BI dalam menjalankan kebijakan pembelian SBN.

Transparansi mengenai ruang lingkup, tenor, hingga jangka waktu pembelian harus disampaikan secara jelas agar kredibilitas bank sentral tetap terjaga.

Tanpa komunikasi yang kuat, kebijakan ini dikhawatirkan lebih dilihat sebagai langkah fiskal ketimbang moneter.

Baca Juga: Fenomena 17+8 Jadi Sorotan, Adi Prayitno: Suara Publik Kini Lebih Keras di Medsos

Halaman:

Tags

Terkini