Mukri mempertanyakan tanggapan pemerintah pascaperingatan dini dari BMKG, sebab lembaga seperti BNPB dan BPBD memiliki data lengkap terkait peta risiko bencana, namun tidak menunjukkan respons cepat maupun pencegahan yang memadai.
Kondisi ini membuat dampak bencana semakin luas, dengan korban jiwa yang sudah melebihi seratus orang dan potensi meningkat dalam beberapa hari ke depan.
WALHI menegaskan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab terbesar atas kerusakan lingkungan dan besarnya dampak bencana, karena kebijakan perizinan dan orientasi pembangunan yang menonjolkan investasi ekstraktif dianggap sebagai penyebab utama rapuhnya ekosistem.
"Kalau ditanya siapa yang bertanggung jawab, tentu pemerintah, karena yang namanya pemerintah itu adalah mandataris negara," tegasnya.
"Judulnya dalam konstitusi kita adalah melindungi segenap tumpah darah Republik Indonesia dari apa pun risiko ancamannya. Bukan cuma semata-mata perang, risiko bencana juga harus menjadi tanggung jawab pemerintah," imbuhnya.
Mukri menilai bahwa bencana di Sumatera dan Aceh harus menjadi momentum evaluasi besar-besaran terhadap kebijakan investasi dan tata kelola lingkungan.
Ia menilai orientasi yang terlalu fokus pada eksploitasi tidak mampu memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat, sementara kerusakan lingkungan dan risiko bencana terus meningkat, bahkan menimbulkan korban jiwa yang semakin banyak.
Menurut WALHI, kondisi yang terjadi di Sumatera hanyalah gambaran dari risiko yang dapat muncul di wilayah lain di Indonesia bila pola eksploitasi dan minimnya mitigasi bencana tetap dibiarkan.***