Bencana di Sumatera dan Aceh, WALHI Sudah Ingatkan, Pemerintah Longgarkan Izin Eksploitasi Alam

photo author
- Sabtu, 29 November 2025 | 16:00 WIB
Bencana Banjir Bandang menimpa Sumatera dan Aceh (Tangkap layar youtube Metro TV)
Bencana Banjir Bandang menimpa Sumatera dan Aceh (Tangkap layar youtube Metro TV)

bisnisbandung.com - Deputi Eksternal Eksekutif Nasional WALHI, Mukri Friatna, menilai besarnya bencana banjir dan longsor yang terjadi di Sumatera dan Aceh merupakan konsekuensi dari kerusakan ekologis yang telah berlangsung lama.

Ia menjelaskan bahwa kerusakan tersebut berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan ruang sangat besar bagi kegiatan ekstraktif sejak awal 2000-an, sehingga kondisi lingkungan di banyak wilayah menjadi rapuh dan mudah terpicu menjadi bencana besar ketika intensitas hujan meningkat.

WALHI melalui laporan Environmental Outlook berjudul Robohnya Sumatera Kita mencatat bahwa Sumatera telah lama berada dalam tekanan ekologis berat.

Baca Juga: BMKG Ungkap Munculnya Anomali Cuaca Ekstrem di Sumatera dan Aceh Dipicu Kerusakan Lingkungan

Pulau ini diapit oleh sistem sesar aktif dan kini dibebani oleh aktivitas pertambangan, perkebunan skala besar, serta industri kehutanan.

Data WALHI menunjukkan izin pertambangan telah melampaui enam juta hektare, perkebunan lebih dari satu juta hektare, dan industri kehutanan lebih dari dua juta hektare.

Selain aktivitas legal yang masif, praktik ilegal seperti pertambangan tanpa izin dan ilegal logging juga terus berlangsung di beberapa wilayah, terutama di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.

Mukri menilai kegiatan ekstraktif tumbuh pesat karena pemerintah membuka ruang perizinan yang longgar, termasuk izin pinjam pakai kawasan hutan, HGB, dan HGU.

Baca Juga: Peresmian Talent Innovation Hub Bandung : Kemenaker RI Dukung Paragon Kembangkan Talenta Indonesia

“Kalau misalnya kita mulai dari Aceh. Kalau di Aceh, khususnya di Aceh Tengah, itu terkait dengan pemanfaatan lahan untuk industri pertambangan. Kita sudah menolak juga sejak tahun 2003,” ucapnya dilansir dari youtube Metro TV.

Ia menyoroti kasus Aceh Tengah yang sejak 2003 telah diberikan ruang bagi industri pertambangan, padahal kawasan tersebut telah dipetakan sebagai wilayah rentan daya rusak air melalui Kanun Nomor 2 Tahun 2016.

Kondisi serupa juga terjadi di Aceh Tamiang yang sejak 2009 mengalami maraknya ilegal logging, serta di Sumatera Barat dan Sumatera Utara yang menghadapi kombinasi tekanan pertambangan, perkebunan sawit, dan kerusakan hutan.

Menurut WALHI, bencana yang terjadi bukan hanya dipicu oleh faktor meteorologis seperti Siklon Sanyar, tetapi diperburuk oleh lemahnya langkah mitigasi.

Baca Juga: Roy Suryo Sindir 'Ahli Palsu', Bahas Pengajuan Ahli dan Gelar Perkara

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Durotul Hikmah

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X