Untuk menghasilkan Pertalite dengan RON-90 beberapa jenis NAFTA dicampur hingga mencapai angka yang diinginkan.
Namun dugaan korupsi dalam kasus ini muncul karena ada indikasi perubahan spesifikasi dari RON-90 menjadi RON-92 tanpa prosedur yang jelas.
"Jika yang terjadi adalah pengubahan spesifikasi setelah bahan bakar dibeli maka itu bisa dianggap sebagai tindakan melanggar aturan," katanya.
Tri Yus menjelaskan bahwa dalam proses impor Pertamina membeli bahan bakar dari pedagang yang menawarkan produk dengan spesifikasi tertentu.
Baca Juga: Tidak Percaya Penegakan Korupsi, Asep Iwan Iriawan: Lihat Saja, Mereka Tak Pernah Selesaikan Perkara
Di luar negeri batas minimum RON biasanya 91 atau 92.
Jika Pertamina membeli bahan bakar dengan RON lebih tinggi dari yang ditentukan biasanya ada mekanisme diskon karena kualitasnya lebih tinggi dari spesifikasi awal.
Namun ia menekankan bahwa peluang manipulasi sangat kecil karena sistem pengawasan yang ketat.
"Setiap SPBU diawasi secara berkala. Jika dispenser menunjukkan RON-92 tetapi yang dijual adalah RON-90 maka pengusaha SPBU bisa dikenakan sanksi berat, bahkan dipenjara," tegasnya.
Baca Juga: Bongkar dulu Semuanya Sebelum Bicara Hukuman Mati! Bivitri Susanti Pesimis dengan Kejakasaan
Selain itu quality control dilakukan mulai dari impor, penyimpanan di depo, hingga distribusi ke SPBU.
Tri Yus menekankan "Sebelum bahan bakar masuk ke Indonesia sudah dicek safety card-nya. Saat keluar dari depo pun diperiksa kembali."
"Ketika sampai di SPBU sampel bahan bakar juga rutin diuji. Jadi peluang manipulasi sangat kecil," tutupnya.***