Ia menyebutkan bahwa hakim sering kali menerima informasi awal dari penyidik atau jaksa yang membentuk asumsi sejak awal.
"Advokat itu skornya sudah 3-0 dari awal karena hakim cenderung percaya pada informasi dari negara," kata Aristo.
Selain itu Aristo mengungkapkan adanya potensi motif tersembunyi dalam proses pengadilan seperti saling melindungi antar institusi.
"Kadang-kadang ada kemungkinan bahwa pelanggaran prosedur dibiarkan karena ini adalah pilihan politik sejak pembentukan KUHAP," jelasnya.
Baca Juga: Bambang Pacul dan Puan Maharani, Qodari Sebut Keduanya Punya Peran dalam Kekalahan PDIP di Jateng
Aristo menyimpulkan bahwa hukum pidana di Indonesia masih kental dengan aroma otoritarianisme.
Sistem ini memberikan perlindungan lebih kepada institusi negara bahkan jika terjadi pelanggaran prosedural.
"Di negara demokratis kasus seperti ini tidak akan bertahan. Tapi di Indonesia sistem hukum kita masih berat sebelah," tutupnya.***