Bisnisbandung.com - Maruarar Sirait, Menteri Perumahan dan Pemukiman Indonesia, menuai kontroversi di Rakornas Pemerintah Pusat dan Daerah 2024 ketika ia hanya menampilkan foto Presiden Prabowo dalam presentasinya, tanpa menampilkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Sikap Maruarar ini mengundang perhatian publik, terutama setelah ia menjelaskan bahwa tindakan tersebut didasarkan pada prinsip "satu komando" di bawah kepemimpinan Prabowo sebagai presiden.
Hal ini membuat Ade Armando, seorang politisi dan pengamat politik, merasa kecewa dan mempertanyakan maksud di balik keputusan Maruarar Sirait tersebut.
Baca Juga: Raffi Ahmad Diingatkan KPK, Wajib Laporkan Harta Kekayaan Sebelum Batas Waktu
“Saya tidak paham dengan Maruarar. Pekan lalu, dia bikin heboh gara-gara hanya memasang gambar Presiden Prabowo dalam presentasinya sebagai Menteri Perumahan di Rakornas Pemerintah Pusat dan Daerah 2024,” jelasnya dilansir dari youtube Cokro TV.
Dalam tradisi politik Indonesia, lazim bagi pejabat publik untuk menampilkan foto presiden dan wakil presiden berdampingan sebagai simbol keharmonisan dalam kepemimpinan negara.
Ade Armando menilai bahwa Maruarar Sirait menyimpang dari kebiasaan ini dan justru menciptakan persepsi negatif di mata publik.
Meskipun tidak ada aturan hukum yang mewajibkan foto wakil presiden dipasang bersamaan dengan foto presiden, ini dianggap menimbulkan spekulasi publik tentang adanya ketidakkompakan dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
Ade Armando menyoroti bahwa kebijakan ini seolah mengirim pesan yang ambigu, terutama di tengah serangan bertubi-tubi yang dialamatkan kepada Gibran dalam beberapa waktu terakhir.
“Saya sendiri juga tidak paham, apa sih pesan yang ingin disampaikan Ara? Apalagi selama mungkin satu tahun terakhir, serangan terhadap Gibran seperti tidak pernah berhenti,” ujarnya.
Baca Juga: Rocky Gerung Kritik UI, Penangguhan Gelar Bahlil Lahadalia Sinyal Buruk Bagi Akademisi
Sebelum kontroversi ini, Maruarar mendapat apresiasi publik atas langkahnya dalam mempercepat kinerja birokrasi, setelah ia mengecam keterlambatan pengiriman surat penting ke Jaksa Agung.
Ade Armando berpendapat bahwa Maruarar seharusnya tetap mempertimbangkan tradisi dan sensitivitas politik, terutama dalam situasi yang mengundang perhatian publik luas.