Muncul Isu Fakta Sejarah Dihilangkan, Fadli Zon: Kita Bukan Menulis Sejarah Pelanggaran HAM

photo author
- Sabtu, 14 Juni 2025 | 19:00 WIB
Fadli Zon, Menteri Kebudayaan RI (Tangkap layar youtube Metro TV)
Fadli Zon, Menteri Kebudayaan RI (Tangkap layar youtube Metro TV)

 

bisnisbandung.com - Pemerintah tengah menyusun penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia setelah lebih dari dua dekade tanpa pembaruan signifikan.

Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, menyebut langkah ini sebagai bagian dari upaya memperbarui identitas nasional dan menyelaraskan sejarah dengan perkembangan terbaru, termasuk temuan arkeologis dan dinamika sosial-politik yang belum tercakup dalam versi sebelumnya.

Proyek ini mencuat ke permukaan publik karena kekhawatiran sebagian kalangan terkait potensi penghilangan atau pengaburan bagian-bagian penting dalam sejarah, khususnya terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Baca Juga: Warga Geram dengan Pelayanan Dukcapil di Kantor TangCity Mall, Datang Pagi Tetap Ditolak

Menanggapi kekhawatiran tersebut, Fadli Zon menegaskan bahwa fokus utama dari penulisan ulang ini bukanlah mendokumentasikan pelanggaran HAM secara khusus, melainkan menyusun narasi sejarah yang lebih komprehensif dan membangun.

“Terus terang saja, kita bukan menulis tentang sejarah pelanggaran HAM. Kita menulis Sejarah Nasional Indonesia. Iya, kan?” jelasnya dilansir dari youtube Metro TV.

“Nah, pelanggaran HAM mana yang mau dibicarakan? Ini buku Sejarah Nasional Indonesia. Aspeknya dari mulai politik, ekonomi, sosial, budaya, sampai itu dari 1,8 juta tahun yang lalu sampai sekarang. Jadi bukan buku tentang sejarah pelanggaran HAM,” terusnya.

Penulisan ini dirancang untuk mencakup lintas sektor politik, ekonomi, sosial, budaya dari masa prasejarah hingga era kon temporer.

Baca Juga: Sindir Greenpeace Indonesia, Ketua PBNU Sebut Menolak Total Adanya Penambangan Bentuk Wahabinisme

Fadli menekankan pentingnya menghadirkan narasi sejarah yang bersifat positif, dengan lebih banyak menonjolkan pencapaian bangsa Indonesia selama hampir delapan dekade kemerdekaan.

Menurutnya, narasi sejarah yang terlalu menitikberatkan pada konflik dan kesalahan masa lalu dikhawatirkan dapat memicu polarisasi dan membuka kembali luka sosial.

Oleh karena itu, pendekatan yang dipilih dalam penyusunan sejarah ini lebih mengedepankan prinsip kebangsaan, persatuan, dan penghargaan terhadap keragaman budaya serta keberlangsungan negara.

“Nah, karena itu sejarah kita adalah untuk kepentingan nasional, untuk persatuan. Enggak bisa misalnya ada terjadi satu peristiwa etnik konflik terjadi, kan faktanya,” ucapnya.

Baca Juga: Mengintip Proyeksi Prabowo, Indonesia Bakal Jadi Raksasa Ekonomi Dunia Tahun 2045

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Durotul Hikmah

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

KPK dan Kejagung Berbagi Peran Tangani Kasus Korupsi

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:00 WIB
X