Untuk menutup defisit tersebut, AS mengharapkan Indonesia membeli lebih banyak komoditas seperti minyak dan gas alam dari Amerika.
Namun, tuntutan pembangunan pabrik di AS dianggap sebagai syarat tambahan yang tidak menguntungkan bagi Indonesia.
Sebelumnya, Indonesia telah mengirim tim negosiator untuk membahas bea masuk produk tekstil dan garmen. Namun, hasilnya belum sepenuhnya memuaskan.
Alih-alih kembali ke tarif rendah, Amerika Serikat justru menaikkan bea masuk hingga 49% usai negosiasi awal.
Saat ini, tarif telah diturunkan menjadi 32%, namun angka ini masih dinilai tinggi jika dibandingkan dengan harapan semula agar tarif kembali ke nol persen.
Ple Priatna memandang bahwa penurunan tarif tersebut bukan hasil nyata dari perundingan bilateral, melainkan kebijakan unilateral dari Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR).
Indonesia dinilai belum memiliki posisi tawar kuat dan hanya menerima keputusan sepihak terkait struktur tarif yang juga diberlakukan terhadap negara lain seperti Bangladesh dan Kamboja.***