Menurut Awalil masyarakat perlu memahami bahwa burden sharing dilakukan untuk meringankan beban pembayaran bunga utang pemerintah bukan mencetak uang baru untuk menutup defisit.
“Yang dibagi itu bukan yield-nya tapi kuponnya. Pemerintah membayar bunga lebih ringan karena BI menanggung sebagian beban bunga. Ini penting dipahami supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman,” jelasnya.
Ia juga menilai langkah BI membeli SBN di pasar sekunder sudah sesuai praktik internasional selama tidak mengarah pada pembiayaan langsung pemerintah.
Baca Juga: Diduga Hacker Bjorka, Pemuda Asal Minahasa Ditangkap, Latar Belakang Pendidikan Mengejutkan
“Kalau BI membeli SBN langsung di pasar perdana, baru itu namanya monetizing. Tapi kalau di pasar sekunder itu masih dalam batas wajar operasi moneter,” tegasnya.
Skema burden sharing antara BI dan Kemenkeu disepakati sejak era Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelang pergantian kabinet pada September 2025.
Dalam MoU tersebut BI akan membeli SBN hingga Rp200 triliun di pasar sekunder dengan mekanisme pembagian beban bunga (kupon).
Namun hingga kini pembelian itu masih dilakukan secara bertahap.
“BI belum membeli seluruh Rp200 triliun yang disepakati. Makanya belum bisa diumumkan nilainya secara final,” jelas Awalil.
Baca Juga: BP BUMN Fokus Regulasi, Pengelolaan Diserahkan ke Danantara
Ia menutup dengan pesan agar publik, terutama media, berhati-hati dalam menafsirkan perbedaan pandangan antara BI dan Kemenkeu.
“Pernyataan Pak Purbaya bagus, tapi konteksnya perlu diluruskan. Jangan sampai publik gagal paham. Skema burden sharing masih berjalan,” pungkas Awalil.***