bisnisbandung.com - Kebijakan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa untuk menyalurkan Rp200 triliun ke perbankan dinilai perlu kehati-hatian ekstra.
Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, menekankan bahwa meskipun dana tersebut besar, urgensi penyalurannya harus diperhatikan karena likuiditas perbankan saat ini relatif sehat.
Rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) berada di kisaran 84–85%, menunjukkan bank masih memiliki kapasitas menyalurkan kredit.
Baca Juga: Pendapatan Pertamina Meningkat Namun Dividen ke Negara Turun, Rieke Diah Pitaloka Persoalkan
Masalah utama, menurut INDEF, bukan pada ketersediaan dana, melainkan rendahnya permintaan kredit dari masyarakat.
“Urgensinya ada enggak sih Rp200 triliun ke perekonomian begitu ya. Ini bank kan punya ukuran-ukuran ya, salah satu ukurannya adalah loan to deposit ratio. Jadi berapa banyak kredit yang disalurkan dibandingkan dana pihak ketiga,” ucapnya dilansir dari youtube tvOneNews.
“Angka terakhir kita sekitar 84 sampai 85% itu cukup sehat. Artinya bank tuh tidak kekeringan likuiditas. Jadi bukan persoalan enggak ada uang gitu. Uangnya ada begitu ya. Tapi bukan enggak liquid, tetapi demand-nya enggak ada,” sambungnya.
Baca Juga: Pasca Gejolak Agustus, Pengamat Politik Soroti Perubahan di Pemerintahan Prabowo
Penyaluran dana tanpa ada peningkatan permintaan di sektor konsumsi, investasi, atau permodalan ekspor-impor dikhawatirkan tidak efektif dan justru bisa menimbulkan kredit menganggur.
Selain itu, INDEF menyoroti risiko terkait manajemen kas pemerintah. Saat ini, cadangan dana pemerintah di Bank Indonesia mencapai sekitar Rp425 triliun.
Dari total anggaran APBN 2025 senilai Rp3.000 triliun, sebagian besar dana berputar untuk belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah.
Penempatan Rp200 triliun di perbankan dinilai berpotensi menggerus cadangan ini, yang berfungsi sebagai buffer atau dana darurat.
Baca Juga: Praktisi Diplomasi Ungkap Kerentanan Diplomat di Tengah Konflik dan Kejahatan Terorganisir
Selain itu, rendahnya daya beli masyarakat menjadi faktor penghambat efektivitas kebijakan ini. Penyerapan anggaran pemerintah hingga Juli 2025 baru mencapai 39,8%, jauh dari target.
Sebagian masyarakat menengah ke bawah bahkan sudah menggunakan tabungan untuk pinjaman online, sehingga perlu program yang benar-benar mendorong konsumsi dan daya beli.