nasional

Dari Instagram ke Aksi Kolektif: Awal Mula Tuntutan 17 + 8

Jumat, 5 September 2025 | 19:00 WIB
17+8 Tuntutan Rakyat berawal dari Medsos (Dok Instagram@jeromepolin)

Tuntutan 17 + 8 yang belakangan ramai dibicarakan publik ternyata berawal dari gerakan akar rumput melalui media sosial.

Inisiatif ini salah satu pengagas utamanya ialaah Salsa Erwina Hutagulung, diaspora Indonesia di Denmark, setelah melihat situasi demonstrasi yang semakin tidak kondusif dan berisiko menimbulkan korban.

Salsa memanfaatkan Instagram untuk menghimpun aspirasi. Melalui unggahan singkat, ia meminta masukan terkait isu-isu apa saja yang paling relevan untuk diperjuangkan secara kolektif.

Baca Juga: Kasus Nadiem Makarim: Antara Dugaan Pelanggaran Administratif atau Tindak Pidana Korupsi

“Jadi awalnya itu karena kita melihat kan banyak nih tuntutan-tuntutan, tapi kesannya kayak tersebar gitu kan. Ada mungkin yang dari tuntutan buruh, ada yang dari mahasiswa, ada yang dari mana, tapi tersebar gitu,” terangya dilansir dari youtube CNN Indonesia.

“Nah, sebenarnya ini muncul karena saya sendiri ngelihat kok demonstrasinya nih mulai enggak kondusif. Kayak dari aparat yang sedang berjaga, juga dari warga sipil, kok jadi bentrok gitu. Nah, timbul kekhawatiran yang luar biasa kalau nanti terjadi jatuhnya lagi begitu banyak korban,”lanjutnya.

Respon publik sangat besar, dengan ratusan ribu pengguna ikut memberikan suara. Hasil jajak pendapat tersebut kemudian dirangkum menjadi 12 tuntutan utama yang pada akhirnya berkembang menjadi formulasi 17 + 8.

Baca Juga: Saat Gizi yang Dijanjikan Membawa Nestapa

Gerakan ini semakin meluas setelah mendapat perhatian dari figur publik dan sejumlah organisasi non-pemerintah (NGO).

Dalam waktu singkat, berbagai kelompok berhasil menyatukan tuntutan, menyusun strategi kampanye, memilih warna identitas, hingga menentukan cara publikasi bersama. Bahkan, diskusi intensif melalui pertemuan daring turut memperkuat penyusunan agenda tersebut.

Salsa menjelaskan bahwa aspirasi ini juga sudah diupayakan untuk disampaikan kepada para wakil rakyat.

Dengan semakin banyaknya anggota parlemen yang aktif menggunakan media sosial, ia meyakini suara publik yang muncul secara digital sulit untuk diabaikan.

Baca Juga: Gas Air Mata di Unisba Terbawa Angin Dinilai Sulit Dibuktikan Secara Fisika

Selain itu, jaringan komunikasi yang dimiliki para penggerak turut membantu memastikan tuntutan ini sudah sampai ke pihak yang berwenang, termasuk lembaga legislatif.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial bisa bertransformasi menjadi wadah mobilisasi politik yang nyata.

Halaman:

Tags

Terkini