bisnisbandung.com - Awal tahun ini, pemerintah pusat memutuskan melakukan efisiensi dengan memangkas anggaran transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp50 triliun.
Kebijakan tersebut dilakukan dalam rangka menjaga defisit anggaran sekaligus meningkatkan efektivitas belanja negara.
Namun, langkah tersebut menimbulkan konsekuensi besar di tingkat daerah. Banyak pemerintah daerah yang sangat bergantung pada dana alokasi dari pusat untuk membiayai layanan publik.
Pemotongan TKD membuat sejumlah daerah kesulitan mempertahankan kualitas pelayanan, terutama wilayah dengan keterbatasan sumber pendapatan asli daerah.
Baca Juga: Anak Muda Siap Gantikan Komisaris, Prabowo Tegas Soal Tantiem BUMN
Untuk menutupi kekurangan anggaran, sejumlah pemerintah daerah memilih menaikkan pajak sebagai solusi cepat.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menjadi instrumen yang paling mudah dioptimalkan karena regulasinya memungkinkan penyesuaian di tingkat daerah.
Kenaikan pajak daerah ini memicu keresahan masyarakat. Bahkan di beberapa wilayah, tarif pajak naik hingga ratusan persen. Kondisi ini terjadi di berbagai daerah seperti Cirebon, Sulawesi Selatan, hingga sejumlah kabupaten lain.
Menurut M. Rizal Taufikurrahman, analisis Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), kenaikan pajak daerah secara besar-besaran tidak lepas dari kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat.
Baca Juga: Ribuan Tambang Ilegal Jadi Sasaran Prabowo, Adi Prayitno: Kerugian Negara Fantastis!
“Saya kira banyak daerah-daerah ternyata kan cukup signifikan ya. Ada Cirebon gitu ya, kemudian ada di Sulawesi Selatan gitu ya, kemudian ada juga di kabupaten-kabupaten lain, ternyata peningkatan sampai 1000% gitu ya,” terangnya dilansir dari youtube CNN Indonesia.
Dengan berkurangnya alokasi dana transfer, daerah terpaksa mencari cara untuk menutup kekurangan, dan pajak menjadi opsi paling instan.
Fenomena ini dinilai sebagai dampak lanjutan dari kebijakan fiskal nasional. Pemerintah daerah yang menghadapi janji politik dan tuntutan peningkatan layanan publik akhirnya mengambil langkah berani meski kondisi masyarakat masih menghadapi tekanan daya beli yang melemah.
Baca Juga: Ikrar Nusa Bhakti Bongkar Skandal Jokowi Jadi “Musuh Bersama Publik 2025”