Bisnisbandung.com - Isu “serakanomiks” yang diangkat Presiden Prabowo Subianto belum lama ini menjadi perbincangan hangat di kalangan ekonom dan pelaku usaha.
Dr. Syarkawi Rauf mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sekaligus dosen Universitas Hasanuddin angkat bicara.
Syarkawi menjelaskan bahwa istilah “serakanomiks” merujuk pada praktik perusahaan yang memperoleh keuntungan secara berlebihan dengan menekan harga di tingkat produsen kecil dan menjual dengan harga tinggi ke konsumen akhir.
Baca Juga: Prabowo Lantik Pimpinan TNI Baru: “Pemimpin Harus Beri Contoh dan Pimpin dari Depan”
“Ini yang disebut sebagai abuse of market power atau penyalahgunaan posisi dominan di pasar,” jelas Syarkawi dalam youtube Awalil Rizky.
Menurutnya struktur pasar di Indonesia masih banyak didominasi oleh perusahaan yang memiliki kekuatan pasar besar seperti monopoli, duopoli, dan oligopoli.
Dalam konteks pembelian pun berlaku hal yang sama, dikenal sebagai monopsoni dan oligopsoni.
Di mana perusahaan pembeli besar dapat menekan harga pembelian dari produsen kecil.
“Serakanomiks terjadi ketika satu pihak menguasai pasar dengan pangsa pasar lebih dari 50% sehingga dapat menetapkan harga sesuka hati, baik saat membeli maupun menjual. Ini merugikan petani maupun konsumen,” terang Syarkawi.
Baca Juga: Waketum Jokowi Mania Tanggapi Pertemuan Gibran dan Dasco: Biasa-Biasa Saja
Lebih jauh Syarkawi mengingatkan pentingnya penguatan KPPU dan amandemen Undang-Undang Persaingan Usaha agar dapat menyesuaikan dengan regulasi negara-negara OECD.
“Kalau kita ingin menjadi bagian dari kelompok OECD, UU persaingan usaha kita harus diperkuat agar bisa mencegah praktik-praktik serakanomiks ini,” tegasnya.
Selain menjelaskan kerangka hukum dan ekonomi dari fenomena tersebut, Syarkawi juga membahas sejarah regulasi antimonopoli terutama di Amerika Serikat yang mulai menerapkan aturan sejak abad ke-19 untuk menanggulangi kekuatan monopoli usai revolusi industri.
“Sistem pasar ideal adalah pasar kompetitif dengan banyak pelaku usaha sehingga tidak ada yang bisa menentukan harga sendiri. Sayangnya di Indonesia banyak sektor masih dikuasai beberapa perusahaan besar yang punya potensi melakukan penyalahgunaan kekuatan pasar,” ujarnya.
Baca Juga: Wapres Gibran dan Dasco Bertemu, Lobi Politik atau Peta Ulang Kekuatan?