bisnisbandung.com - Pengamat politik Hendri Satrio menilai maraknya pemasangan bendera bajak laut One Piece sebagai fenomena budaya populer yang mencerminkan ekspresi publik secara kreatif, namun juga menyimpan pesan kritik sosial yang mendalam, khususnya terhadap pemerintah dan lembaga kebudayaan.
Fenomena bendera Jolly Roger dari anime One Piece ini, menurut Hendri, tidak serta-merta muncul sebagai bentuk perlawanan politik yang serius.
Sebaliknya, hal ini mencerminkan tren sosial yang cepat menyebar, didorong oleh keinginan publik untuk terlibat dalam sesuatu yang sedang ramai, atau dikenal dengan fenomena FOMO (fear of missing out).
Baca Juga: Kibaran Bendera One Piece Sampai Puncak, DPR Minta Pemerintah Intropeksi Diri
Simbol bajak laut yang dipilih pun dinilai netral dan aman dari tafsir politik domestik, sehingga lebih mudah diterima masyarakat luas.
Hendri menyoroti bahwa cerita di balik One Piece mengandung nilai-nilai perjuangan, keberanian, dan solidaritas yang dekat dengan semangat masyarakat.
Hal ini menjadikan simbol bajak laut dalam anime tersebut menjadi sarana ekspresi yang dianggap lucu, tidak mengancam, dan menyampaikan kritik secara tidak langsung.
Namun di balik humor dan kesederhanaan simbol tersebut, Hendri menilai bahwa tren ini merupakan tamparan bagi pemerintah, khususnya Kementerian Kebudayaan.
Baca Juga: Beban Berat APBN 2025, Awalil RizkyL 19% Pendapatan Negara Dipakai untuk Bunga Utang
“Mestinya ya, Menteri Kebudayaan kita tuh tergelitik sama hal-hal begini. Kenapa kemudian budaya asing bisa masuk, merambah, sampai menterjemahkan politik di Indonesia? Sampai dipakai oleh orang-orang politik di Indonesia,” ujarnya dilansir dari youtube tvOneNews.
Ia mempertanyakan mengapa budaya asing seperti anime Jepang bisa begitu dominan dan bahkan digunakan untuk menyampaikan pesan politik di Indonesia, sementara simbol-simbol budaya lokal seperti Punakawan atau Kancil jarang dimunculkan dalam ekspresi publik kontemporer.
Menurutnya, fenomena ini menunjukkan lemahnya komunikasi pemerintah dengan masyarakat, terutama dalam menanggapi aspirasi anak muda yang kini lebih akrab dengan budaya populer global.
Ia juga menyoroti bahwa akses komunikasi antara rakyat dan sebagian anggota legislatif masih belum merata.
Baca Juga: Ketimpangan di Perkotaan Indonesia Meningkat, Ekonom: PHK dan Informalisasi Jadi Faktor Utama