bisnisbandung.com - Kriminolog Hanifa Hasna menyatakan bahwa narasi kesehatan mental yang digunakan dalam penjelasan polisi terkait kematian diplomat muda Arya Daru Pangayunan (ADP) tidak boleh menjadi dasar tunggal untuk menutup penyelidikan.
Menurutnya, sejumlah fakta yang diungkap dalam konferensi pers belum cukup menjawab seluruh pertanyaan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan luka-luka fisik yang ditemukan pada tubuh korban.
“Karena mereka juga mengawal kasus ini dari awal, gitu ya. Lalu akses layanan mental itu yang disampaikan di rilis tadi itu ternyata bukan bukti tunggal untuk bunuh diri apalagi tanpa konteks isi konsultasi,” lugasnya dilansir dari youtube CNN Indonesia.
Baca Juga: Ikrar Nusa Bhakti: Kasus Hukum di Indonesia Dikendalikan Politik Bukan Keadilan
Hanifa menilai, akses layanan konsultasi psikologi yang disebutkan aparat tidak dapat secara otomatis dijadikan bukti bahwa kematian korban adalah bunuh diri, terlebih tanpa informasi detail mengenai kondisi psikologisnya.
“Jadi kalau kita lihat, apakah benar ADP ini ada kondisi mental tertentu yang memang membuatnya melakukan konsultasi sekian lama? Apakah tidak ada kebaruan dari kondisi psikologisnya? Seberapa berat apa yang membentuk seperti ini?” ungkapnya.
Ia mempertanyakan apakah ADP mengalami tekanan berat dalam jangka panjang, dan bagaimana dukungan sosial di sekitarnya, termasuk dinamika kehidupan keluarga, turut memengaruhi kondisi mentalnya.
Baca Juga: Surat Haru Siswi Sekolah Rakyat untuk Presiden Prabowo, Kami Kini Punya Masa Depan!
Dalam konteks luka-luka yang ditemukan, seperti lebam dan luka terbuka, kriminolog ini menekankan pentingnya pengujian lebih dalam terhadap penyebab luka.
Ia mengingatkan bahwa setiap tanda fisik bisa menunjukkan kemungkinan lain, termasuk potensi kekerasan atau aktivitas fisik berat sebelum kematian.
Hal ini penting untuk memastikan bahwa simpulan yang diambil benar-benar didasarkan pada bukti komprehensif, bukan sekadar pada dugaan kondisi psikologis.
Selain itu, Hanifa menggarisbawahi bahwa narasi kesehatan mental seharusnya dipahami sebagai upaya membuka ruang pemahaman baru, bukan sebagai alasan untuk menutup kasus.
“Bahwa narasi kesehatan mental itu bukan hanya untuk menutup perkara, tapi justru untuk membuka dimensi baru dalam memahami kompleksitas hidup dan matinya seseorang, termasuk ADP ini,” tegasnya.
Menurutnya, penggunaan pendekatan ini justru harus mendorong evaluasi terhadap kesejahteraan psikologis pekerja, terutama mereka yang berada dalam tekanan profesional tinggi seperti diplomasi.***
Baca Juga: Kejagung Bongkar Skandal Penyelewengan Beras Subsidi, Enam Perusahaan Diperiksa!