bisnisbandung.com - Kisruh yang terjadi di Pertamina menjadi sorotan publik selama brhari-hari, terutama setelah dugaan pengoplosan BBM diungkapkan oleh Kejaksaan Agung.
Henri Subiakto, akademisi Universitas Airlangga, menegaskan bahwa tanggung jawab utama dalam mengatasi permasalahan di BUMN berada di tangan menteri dan presiden, bukan komisaris utama.
“Intinya kalau di level negara politiknya penuh drama dan pencitraan, maka di level BUMN yang ada di bawah menteri, isinya juga merefleksikan politik negara yang juga penuh drama, pencitraan untuk menutupi kebobrokkan,” terangnya dalam cuitan di akun X pribadinya.
Baca Juga: Pelajaran Bisnis dari Timothy Ronald: Hidup Itu Seperti di Drama ‘Squid Game’
Dalam sistem tata kelola perusahaan BUMN, komisaris utama memiliki kewenangan yang terbatas.
“Seperti apa yang terjadi di Pertamina ini, yangg harus tanggung jawab memag di level atas di tingkat menteri dan presiden. Bukan komut. Walau komut harus dimintai keterangan. Bagus sekali Ahok punya catatan2 terkait penyimpangan yang ditemukan,” lanjutnya.
Mereka tidak memiliki kuasa langsung untuk mengganti direksi atau pejabat di anak perusahaan. Komisaris utama hanya berperan dalam memberikan rekomendasi, catatan, serta usulan terkait pengelolaan perusahaan kepada kementerian yang berwenang.
Baca Juga: Konstitusi Dihitamkan? Feri Amsari: Negara Takut pada Lagu dan Lukisan
Henri menyoroti bahwa BUMN besar sering kali menjadi arena permainan politik dan pencitraan, mencerminkan dinamika politik di tingkat negara.
Hal ini membuat berbagai persoalan di tubuh perusahaan negara menjadi lebih kompleks dan sulit untuk diurai secara transparan.
Kasus yang terjadi di Pertamina dinilai sebagai refleksi dari permasalahan yang lebih luas dalam tata kelola BUMN.
Oleh karena itu, tanggung jawab utama dalam menangani kisruh ini seharusnya berada di level atas, yaitu di tingkat menteri dan presiden.
Komisaris utama tetap dapat dimintai keterangan, namun tidak seharusnya dijadikan pihak yang paling bertanggung jawab.