bisnisbandung.com - Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) baru-baru ini mengungkapkan klarifikasinya perihal masuknya nama mantan Presiden Jokowi di dalam daftar finalis pemimpin paling korup dunia.
OCCRP memparkan bahwa Jokowi dianggap merusak proses pemilihan umum demi menguntungkan putranya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjabat sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Akademisi Unair, Henri Subiakto memberikan tangapannya perihal semakin terpojoknya Jokowi dengan keterangan dipaparkan oleh OCCRP.
Baca Juga: Puan Maharani Sangat Mungkin Berkoalisi dengan Prabowo di Pilpres 2029, Apa Kata Adi Prayitno?
Ia menganalisis, efektivitas buzzer pemerintah yang terus menyangkal dan membela Jokowi, bahkan tetap menuntut bukti dari OCCRP setelah klarifikasi tersebut.
“Kekuatan politik yang mencoba melawan dan menyalahkan gerakan netizen, pemberitaan media dan aktivis demokrasi, ujungnya akan kehabisan energi, semangat dan rasionalitas,” ditulisnya di X pribadinya, Pada Minggu, 5 Januari 2025.
“ Karena media dan netizen itu kekuatannya sangat besar, jumlah manusia yang terlibat tdk terbatas dan tak hanya di suatu tempat atau negara,” terusnya.
Menurut Henri, kekuatan politik yang mengandalkan buzzer dalam strategi komunikasi digital menghadapi tantangan besar saat berhadapan dengan opini masyarakat yang luas dan beragam.
Baca Juga: Putusan MK Hanya akan Jadi Formalitas, Adi Prayitno: Ada Tidak yang Berani Melawan Prabowo di 2029?
Ia menekankan bahwa dukungan masyarakat terhadap gerakan netizen dan media berbasis demokrasi lebih bersifat organik dan tidak terbatas oleh lokasi geografis.
Henri berpendapat bahwa buzzer pemerintah memiliki keterbatasan, terutama karena keberadaan mereka sangat tergantung pada rasionalitas kebijakan, anggaran, serta kepentingan elit yang mendukungnya.
Loyalitas buzzer cenderung terbatas pada kepentingan elit tersebut, dan apabila kebijakan pemerintah tidak selaras dengan kehendak masyarakat luas, narasi yang dibawa oleh buzzer dapat kehilangan legitimasi dan dianggap tidak relevan.
Sebaliknya, gerakan yang didasarkan pada nilai-nilai demokrasi memiliki daya tahan lebih kuat. Hal ini dikarenakan gerakan tersebut didukung oleh komitmen terhadap perjuangan nilai serta profesionalisme yang mendorong sikap kritis terhadap kekuasaan.
Baca Juga: Jokowi Disorot Media Asing Soal Finalis Pemimpin Paling Korup, Dokter Tifa Beri Komentar Pedas