bisnisbandung.com - Hersubeno Arief, seorang jurnalis senior, menguak lebih dalam mengenai polemik rencana penggantian Jusuf Kalla dari kursi Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI).
Dalam analisisnya, Hersubeno Arief menyoroti bahwa kasus ini jauh dari sederhana. Ia memaparkan bahwa isu ini tidak hanya menyangkut dinamika internal organisasi, tetapi juga melibatkan politik praktis hingga kepentingan bisnis strategis.
Hersubeno Arief mendapat pesan dari seorang yang mengakau Nakes bahwa salah satu motif besar di balik polemik ini adalah keberadaan pabrik fraksionasi plasma darah yang baru saja didirikan.
“Ternyata, kasusnya tidak sesederhana itu. Dari beberapa narasumber yang menelepon saya, bahkan ada yang menulis secara khusus ke nomor telepon Forum News Network melalui chat,” ujarnya dilansir dari youtube Hersubeno Point.
Baca Juga: Olok-Olok Penjual Es Teh, Miftah Maulana Minta Maaf dan Lebih Berhati-Hati
“Mereka menjelaskan bahwa ada dana besar di balik rencana penggusuran Pak Jusuf Kalla ini.Ini berkaitan dengan pabrik pengolahan plasma darah, atau yang disebut fraksionasi plasma darah,” lanjutnya.
Pabrik ini, hasil kerja sama dengan perusahaan Korea Selatan, memiliki potensi untuk mengolah plasma darah menjadi obat-obatan, menggantikan ketergantungan impor yang mencapai Rp1,1 triliun setiap tahun.
PMI, sebagai pemegang saham di pabrik tersebut, berada di posisi strategis yang memungkinkan pengelolaan dana besar.
Hersubeno Arief mencatat bahwa keberadaan pabrik ini menjadi daya tarik tersendiri bagi berbagai pihak yang ingin "menguasai" PMI, bukan hanya demi kemanusiaan, tetapi juga untuk memanfaatkan peluang bisnis besar di sektor kesehatan.
Baca Juga: BRI Dukung Figur Inspiratif Lokal, Saiban Gerakkan UMKM Ponorogo Menuju Sukses
Dalam pandangannya, Hersubeno Arief juga menyoroti adanya indikasi money politic dalam proses ini.
Undangan kepada pengurus PMI dari berbagai daerah untuk mendukung kandidat tertentu disertai fasilitas mewah, seperti pertemuan di hotel berbintang, mengindikasikan adanya upaya memobilisasi dukungan dengan imbalan tertentu.
Hal ini, menurut Hersubeno, mencerminkan praktik politik pragmatis yang tidak seharusnya terjadi dalam organisasi kemanusiaan.
Baca Juga: Hanya Miliki Satu Kendaraan dalam LHKPN, Karier Ummi Wahyuni Berakhir Tragis