Bisnisbandung.com - Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Cina menuai perhatian dari kalangan pengamat, termasuk Rocky Gerung, yang menyoroti implikasi dari kesepakatan “joint development in area of overlapping claims” atau pembangunan bersama di wilayah yang diklaim tumpang tindih.
Menurut Rocky Gerung, langkah diplomatik ini mengisyaratkan potensi pengakuan terhadap klaim Cina di Laut Natuna, yang bertentangan dengan prinsip hukum internasional dan bisa berujung pada ancaman terhadap kedaulatan Indonesia.
Ia menekankan bahwa dalam kebijakan luar negeri, setiap negara pada dasarnya harus berlandaskan kepentingan nasional.
Rocky Gerung menyoroti bahwa perkembangan global memaksa negara-negara, termasuk Indonesia, untuk beradaptasi dengan pengaruh kekuatan ekonomi dan politik yang lebih besar, terutama dengan munculnya Cina sebagai kekuatan global atau ‘junior superpower’.
Baca Juga: Permudah Investasi Reksadana, Bank Kustodian BRI Hadirkan Inovasi Multi-Share Class
“Jadi, kalau sekarang terdengar semacam ‘joint statement’, artinya Indonesia mundur selangkah dan memungkinkan Cina maju selangkah untuk mengklaim bahwa kepentingannya terganggu di Laut Cina Selatan, yang kini dikenal dengan 10 garis putus-putus itu,” ujarnya dilansir dari youtube pribadinya.
Dalam pandangannya, "joint statement" yang tidak mengikat antara Indonesia dan Cina ini bisa menjadi awal dari negosiasi yang lebih intensif, yang berpotensi menguntungkan Cina.
Rocky mengingatkan bahwa di balik sikap Cina terdapat ambisi geopolitik yang lebih luas, seperti yang tercermin dalam proyek ‘One Belt, One Road’, yang menurutnya adalah wujud nyata dari keinginan Cina untuk menghidupkan kembali jalur perdagangan kuno dan memperluas pengaruhnya di kawasan Asia-Pasifik.
Langkah ini, tidak sekadar soal ekonomi, tetapi juga upaya Cina untuk mendapatkan pengakuan sebagai kekuatan besar yang berhak menuntut posisi dominan di panggung internasional.
Baca Juga: Budi Arie Mengungkap Drama Persekongkolan Judi Online di Kementerian Kominfo
Lebih jauh, Ia menggambarkan hubungan Indonesia-Cina sebagai "duri dalam daging" karena adanya ketegangan antara kebutuhan ekonomi dan ancaman terhadap kedaulatan.
“Soal Cina ini tentu menjadi semacam duri dalam daging. Dari perspektif masyarakat Indonesia, Cina terlihat berupaya memanfaatkan ekonomi negara-negara tetangga sebagai alat tekanan politik,” jelasnya.
Dalam persoalan ini Cina bukan hanya ingin membangun kerjasama ekonomi, tetapi juga secara perlahan meningkatkan pengaruhnya melalui ekspansi teknologi dan kekuatan militer, yang mengarah pada potensi pergeseran kekuasaan di wilayah Asia.