Bisnisbandung.com - Bivitri Susanti seorang pakar hukum tata negara mengungkapkan keprihatinannya terkait upaya penghapusan Ketetapan MPR (TAP MPR) yang berkaitan dengan mantan Presiden Soeharto.
Menurut Bivitri Susanti langkah tersebut dapat menodai sejarah reformasi 1998 yang menuntut pertanggungjawaban dari Soeharto dan kroni-kroninya.
Bivitri Susanti menekankan bahwa penghilangan TAP MPR terkait Soeharto sama dengan mengabaikan tujuan utama dari reformasi yang seharusnya terus berlanjut hingga kini.
“Ketika MPR mencoba untuk menghapus catatan-catatan tersebut itu berarti kita sedang melupakan sejarah yang penuh dengan pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan yang terjadi di masa Orde Baru,” ungkap Bivitri Susanti yang dikutip dari youtube satu visi utama.
Bivitri Susanti menyoroti bahwa setelah amandemen konstitusi pada tahun 1999-2002 MPR tidak seharusnya lagi memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan TAP MPR.
Namun ia merasa bahwa ada dorongan dari kalangan elit untuk menghidupkan kembali kekuasaan MPR sebagai lembaga tertinggi.
Bivitri Susanti menekankan “Kita perlu mempertanyakan mengapa tiba-tiba TAP MPR ini ingin dihidupkan kembali.”
“Ini menunjukkan adanya keinginan untuk kembali ke era di mana elit politik dapat menentukan nasib bangsa tanpa mempertimbangkan suara rakyat,” tegas Bivitri Susanti.
Bivitri Susanti menyatakan bahwa dalam sebuah negara demokratis, penghukuman terhadap penguasa yang melakukan kesalahan adalah hal yang wajar.
Ia mencontohkan banyak negara di mana mantan presiden yang terlibat dalam kasus hukum tetap diadili.
“Hukuman politik dan hukum untuk mantan presiden yang zalim harus ada. Ini bukan soal dendam tetapi tentang keadilan dan tanggung jawab publik,” katanya.
Bivitri Susanti juga mengingatkan bahwa keinginan untuk menghapus catatan sejarah Orde Baru hanya akan menguntungkan elite politik.