Bivitri Susanti menutup analisisnya dengan pernyataan tajam, "Yang dibunuh adalah kebebasan sipil."
Hal tersebut mencerminkan keprihatinan atas pengurangan ruang gerak masyarakat sipil dalam menyuarakan aspirasinya, membuka ruang untuk diskusi lebih lanjut mengenai kebebasan berpendapat dan berorganisasi di Indonesia.***