“Bayangkan ini baru muncul tahun 2019. Sebelumnya tidak dicatat secara akuntabel. Padahal akumulasinya sudah ada sejak lama,” tambahnya.
Awalil juga menjelaskan bahwa ekuitas pemerintah di neraca bertumpu pada saldo anggaran lebih (SAL) yang merupakan sisa dari anggaran tahunan.
“Kalau di perusahaan ini mirip laba ditahan. Tapi di pemerintah itu jadi ekuitas yang akan menentukan ruang fiskal ke depan,” katanya.
Namun dengan ketatnya ruang fiskal program-program besar seperti Makan Bergizi Gratis atau proyek infrastruktur besar lain sangat bergantung pada utang baru.
Baca Juga: Dari Lumbung Emas ke Lumbung Peradaban
Yanuar menilai sistem ini bisa menjadi "bom waktu" terutama jika beban pensiun dan kewajiban lainnya tidak segera disikapi secara struktural.
“Negara itu boleh defisit tapi kalau arus kasnya terus negatif, ya pasti lama-lama jebol,” ujarnya.
Ia juga mengkritik kebijakan pemindahan aset BUMN ke lembaga baru seperti Danantara yang belum sepenuhnya tercermin dalam neraca.
“Kalau aset dipindah tapi utangnya masih di pemerintah ini perlu ditelusuri. Jangan sampai neraca kelihatan sehat padahal bebannya masih numpuk,” tegasnya.***
Artikel Terkait
Investasi di Jawa Barat Capai Rp72,5 Triliun, Dedi Mulyadi Ingatkan Pentingnya Serap Tenaga Kerja
Pasar Unik di Hutan Purwakarta, Om Zein: Jadi Ajang Edukasi dan Promosi Produk Lokal
Kemiskinan di Indonesia Lebih Parah dari Data Resmi? Awalil Rizky Bongkar Fakta Mengejutkan
Siapakah ‘J’ di PSI? Adi Prayitno Ungkap Kandidat Ketua Dewan Pembina yang Paling Mungkin
Viral di Media Sosial, Reuni Jokowi Dikritik Sebagai Reuni Settingan oleh Ikrar Nusa Bhakti
Amien Rais Sentil Prabowo: "Segera Pisah dari Bayang-Bayang Jokowi!"