bisnisbandung.com - Profesor Ikrar Nusa Bhakti, seorang pengamat dan akademisi, memberikan pandangannya mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hal ini terkait dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mengusulkan pengampunan bagi koruptor yang bersedia mengembalikan uang hasil korupsi.
Pandangan Prof Ikrar mengkritisi pendekatan tersebut, dengan menyarankan agar Indonesia belajar dari negara-negara yang memiliki sistem penegakan hukum yang tegas terhadap korupsi, seperti Tiongkok.
Baca Juga: Babak Baru Konflik PDIP vs Jokowi, Ikrar Nusa Bhakti: Banteng Bermoncong Putih Tak Akan Diam
“Kita harus belajar dari negeri tirai bambu, yaitu Tiongkok. Presiden Tiongkok, Xi Jinping, pernah mengatakan, ‘Siapkan 100 peti mati untuk para koruptor: 99 peti mati untuk mereka yang telah dihukum mati, dan tinggalkan satu peti mati untuk saya jika saya melakukan korupsi’,” ucapnya.
Menurut Prof. Ikrar, meskipun upaya untuk mengatasi masalah korupsi di Indonesia bukanlah hal baru, pendekatan Prabowo yang mengurangi hukuman bagi koruptor dengan syarat pengembalian uang dianggap tidak tepat.
“Nah, ketika Prabowo berpidato untuk mengurangi hukuman terhadap koruptor jika mereka mengembalikan uang, banyak orang Indonesia yang memberikan tanggapan,” bebernya dilansir dari youtube pribadinya.
Baca Juga: Jokowi dan PDIP Saling Bongkar, Henri Subiakto: Memperlihatkan Kebusukan di Antara Kedua Pihak
Ia berpendapat bahwa penanganan korupsi harus melibatkan hukuman yang setimpal, bukan sekadar pengembalian uang, karena korupsi merusak kepercayaan publik dan sistem pemerintahan.
Lebih lanjut, Prof. Ikrar menilai bahwa sistem penegakan hukum di Indonesia masih kurang tegas.
Ia membandingkan hal ini dengan pendekatan yang diterapkan di negara seperti Tiongkok, Singapura, dan Vietnam, di mana penegakan hukum terhadap koruptor sangat keras dan melibatkan perampasan aset hasil korupsi.
Prof. Ikrar mengingatkan bahwa untuk menciptakan efek jera yang kuat, Indonesia perlu memiliki regulasi yang jelas dan tegas, serta memperkuat lembaga-lembaga penegak hukum seperti KPK, kepolisian, dan kejaksaan.
“Dan kita lihat, dalam kasus Indonesia hingga kini, yang namanya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia masih belum menentukan apa yang harus dilakukan oleh negara, yaitu merampas semua kekayaan seseorang dari hasil korupsi,” tegasnya.
Baca Juga: PDIP di Bawah Tekanan, Qodari: Megawati Terjepit di Antara Manuver Prabowo dan Jokowi
Artikel Terkait
Rocky Gerung Soroti Dilema Prabowo ditengah Perseteruan PDIP dan Jokowi yang Kian Memanas
Muncul Isu Presiden Prabowo Sakit, Tunda Pertemuan dengan Perdana Menteri Malaysia
Rinny Budoyo Ungkap Keuntungan Bagi Jokowi dan Prabowo Jika Puan Maharani Mengambil Alih PDIP
Rudi S Kamri: Kenaikan PPN 12% Sebagai Jebakan Jokowi untuk Pemerintahan Prabowo
Dendam Jokowi dan Megawati Warnai 100 Hari Pemerintahan Prabowo, Rocky Gerung Ungkap Ketegangan Politik
PDIP di Bawah Tekanan, Qodari: Megawati Terjepit di Antara Manuver Prabowo dan Jokowi