Tujuannya agar bisa datang lagi lagi di lokasi tersebut untuk bisa melakukan upaya budidaya. Mulai dari pencangkokkan dan cara lainnya.
Namun, kerap kali, dirinya langsung patah hati tatkala kembali ke hutan untuk melakukan budidaya terhadap satu tanaman buah, ternyata pohon bersangkutan sudah tidak ada lagi. Entah itu ditebang, tumbang atau habis karena terbakar.
Terkadang dirinya tidak bisa langsung melakukan pembibitan saat menemukan pohon buah langka karena harus menunggu waktu yang pas. "Melihat hal ini membuat saya sedih. Apalagi jika si pohon buah itu sudah sulit ditemukan," lirihnya.
Supaya kesedihannya tidak belarut-larut, ia pun mendokumentasikan seluruh hasil penelitian dan budidaya tanaman buahnya dalam dua buah buku hasil rangkumannya. Pertama berjudul Potret Buah Nusantara Masa Kini dan kedua buku tujuh seri berjudul Buah Hutan Kalimantan Selatan.
Ia berharap buku karyanya bisa bermanfaat bagi generasi penerus. "Buku ini banyak gambar. Anak SD pun bisa paham," terangnya.
Efeknya, makin banyak orang yang mulai peduli terhadap tanaman buah endemik khas Borneo, termasuk pemerintah setempat. Tak hanya itu, permintaan dari mancanegara untuk bisa mendapatkan bibit tanaman buah khas Kalimantan kerap datang.
Namun ia menolak menjual bibit buah khas Kalimantan ke pihak luar. Justru ia berharap potensi tanaman endemik khas Kalimantan ini dijaga dan dilindungi. Salah satunya dengan membuat aturan khusus untuk melindunginya. "Tingkat kepedulian orang lokal kurang," keluhnya yang mewanti-wanti buah lokal diambil pihak lain.
Mengenalkan buah langka asli Kalimantan ternyata tidak semudah membalikkan tangan. Inilah yang dirasakan Muhammad Hanif Wicaksono yang sudah tujuh tahun berjuang membudidayakan buah khas Borneo.
Semenjak mencari tahu keberadaan endemik pohon ini sejak 2012, Hanif menyadari masyarakat setempat kurang peduli terhadap tanaman tersebut, terlebih mau membudiyakan. Padahal dengan cara ini bisa melestarikan tanaman tersebut.
Akhirnya ia mulai membudidayakan tanaman buah khas Kalimantan di 2016 di Desa Marajai, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan. Selain bisa melestarikan si tanaman, ia juga berharap bisa membantu sebagian masyarakat desa ini yang masih pra sejahtera. Jika kita menelaah, buah khas Kalimantan ini punya nilai ekonomi yang cukup tinggi. "Jadi saya membuat pelatihan pembibitan dan memanfaatkan sumber daya genetik seperti ecoprint," tuturnya.
Hasilnya memang sudah terlihat. Semakin banyak masyarakat setempat yang mengikuti program budidaya ini. "Peduli dulu, ekonomi akan beriringan," tuturnya.
Ia pun tertantang untuk terus menginformasikan tanaman buah langka Kalimantan ini ke pihak lain. Tidak sebatas di daerah tempat tinggalnya, beberapa pemangku kepentingan ia harapkan bisa terlibat dalam program budidaya tanaman tersebut. Tak cuma pemerintah daerah setempat tapi juga perusahaan swasta dan instansi lainnya.
Sedangkan untuk pengembangan Desa Marajai sendiri, ia bersama beberapa warga desa lainnya kini tengah mengembangkan ekowisata dengan memanfaatkan hutan beserta tanaman buah khas Kalimantan. "Adapun saat ini kalau mendengar nama Marajai pasti tertuju pada penghasil buah dan jadi ikon buah lokal Kalimantan Selatan," tuturnya.
Adapun konsep ekowisata yang ditawarkan adalah tur melihat dari dekat hutan desa dengan beragam tanaman endemik di sana, termasuk juga pohon buah khas daerah tersebut. "Jadi istilahnya adalah bio tour dan akan terus kami kembangkan," ucapnya.
Untuk menarik minat, mulai tahun lalu pihaknya mulai menggelar festival buah khas Kalimantan Selatan. Hasilnya langsung kentara, para turis yang datang tak cuma dari lokal saja tapi juga mancanegara, seperti Jepang dan China. Sayang, Hanif tidak merinci jumlah kunjungan pelancong di desa tersebut.