bencana

Jejak Kerusakan Tak Terbantahkan, WALHI Beberkan 1,4 Juta Ha Hutan Hilang hingga Ledakan Perizinan

Selasa, 2 Desember 2025 | 19:00 WIB
Kayu gelondongan diduga berasal dadi PHAT APL (Tiktok/@kang.so_ra)

bisnisbandung.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyoroti masifnya kerusakan lingkungan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang dinilai memperparah bencana ekologis di wilayah tersebut.

Berdasarkan catatan WALHI, sekitar 1,4 juta hektare tutupan hutan hilang dalam kurun waktu 2016 hingga 2025. Hilangnya kawasan hutan itu disebut beririsan dengan lonjakan perizinan skala besar di berbagai sektor.

Baca Juga: Kerusakan Lingkungan Membawa Bencana, Prabowo Klaim Akan “Sikat Maling-Maling” Perusak Hutan, KSP Buka Suara

Menurut Melva Harahap dari WALHI, bencana yang terjadi di tiga provinsi tersebut bukan sekadar fenomena alam, melainkan akumulasi kerusakan lingkungan yang dipicu aktivitas manusia.

WALHI menilai intensitas hujan tinggi memang dipengaruhi anomali cuaca, namun dampak destruktifnya semakin besar akibat hilangnya tutupan hutan dan ekspansi izin industri ekstraktif.

“Kita sudah mengidentifikasi beberapa perusahaan yang kemudian kita katakan memperparah dampak bencana ekologis yang terjadi di tiga provinsi itu,” lugas Melva dilansir dari youtube tvOneNews

Baca Juga: Listrik Padam dan Tak Bisa Dilalui Jalur Darat, Bahlil Bersama PLN Datangi Lokasi Bencana Terisolasi

WALHI mencatat 631 perusahaan telah mendapatkan beragam izin dalam satu dekade terakhir. Izin tersebut meliputi pertambangan, HGU perkebunan sawit, Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), energi panas bumi, hingga proyek PLTA dan PLTM.

Data itu dikumpulkan dari tiga eksekutif daerah WALHI di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Di Sumatera Utara, WALHI mengidentifikasi sedikitnya tujuh perusahaan yang dianggap memperluas dampak bencana ekologis, terutama di kawasan rawan banjir dan longsor.

Sementara itu di Sumatera Barat, bencana hidrometeorologi terus berulang meskipun wilayah tersebut sudah lama berada dalam kondisi rentan.

Melva menjelaskan bahwa peningkatan perizinan paling masif terjadi dalam setahun terakhir, sejalan dengan tren yang pernah dicatat WALHI bahwa penerbitan izin sering melonjak menjelang periode pemilu. Pola ini dinilai sebagai indikasi keterkaitan antara kepentingan politik, aktivitas ekonomi, dan meningkatnya risiko bencana ekologis.

Perizinan yang diterbitkan dalam periode tersebut berasal dari pemerintah pusat maupun daerah, tergantung jenis usaha dan aturan sektoral yang berlaku.

Baca Juga: Bongkar Cara Pandang Zulhas, Ranking 1 Pelepasan Izin Hutan Kini Kembali Dipertanyakan

Halaman:

Tags

Terkini