Bahkan, mobil Esemka Bima sudah sempat diproduksi dan digunakan sebagai kendaraan komersial ringan.
Tetapi, seiring berjalannya waktu, gaungnya perlahan memudar. Penjualannya stagnan, suku cadang sulit ditemukan, dan publik mulai mempertanyakan keaslian produksi dalam negerinya.
Kisah Esemka menjadi cermin penting bagi proyek mobil nasional saat ini.
Baca Juga: Menkeu Himbau Kepala Daerah Maksimalkan Anggaran, Ini Kata DPR
Esemka gagal bukan karena ide “mobil nasional” itu buruk, melainkan karena tidak ada kesinambungan ekosistem industri dan komitmen jangka panjang.
Tak ada jaringan distribusi kuat, investasi riset yang berkelanjutan, atau dukungan industri lokal yang masif.
Akibatnya, proyek yang semula dipuji sebagai kebanggaan bangsa berubah menjadi simbol wacana yang tak tuntas.
Kini, publik menatap ke Prabowo dengan harapan dan sekaligus kekhawatiran agar proyek mobil nasional kali ini tidak bernasib sama.
Menariknya, di kalangan pengamat ekonomi, muncul pertanyaan senyap: mengapa ide mobil nasional selalu muncul menjelang momentum politik besar atau saat pergantian kekuasaan?
Dari Timor di era Soeharto, Esemka di masa Jokowi, hingga proyek baru yang kini digagas di era Prabowo semuanya punya pola yang serupa.
Janji besar, peluncuran spektakuler, dukungan penuh pemerintah… lalu menghilang perlahan tanpa jejak pasti.
Apakah ini kebetulan belaka, atau ada pola kebijakan yang sengaja diulang demi kepentingan tertentu?
Yang jelas, jika Indonesia ingin benar-benar punya mobil nasional yang nyata, bukan sekadar proyek seremonial, maka pemerintah harus belajar dari Esemka.
Harus ada kejelasan arah industri, kemandirian teknologi, serta transparansi proses produksi dan kemitraan.