Narasinya semakin tajam saat ia masuk pada era krisis moneter dan hadirnya lembar Rp100 ribu yang ternyata saat ini pun sudah dianggap “menciut nilainya” oleh banyak pelaku pasar tradisional.
Zaim bahkan menyebut dua pilihan ekstrem yang akan dihadapi negara bila inflasi sudah terlalu dalam: mencetak uang Rp200 ribu atau Rp500 ribu — atau menghilangkan nol.
Baca Juga: Urgensi Redenominasi Rupiah Dinilai Masih Lemah, Berpotensi Timbulkan Masalah
“Pilihan pertama adalah mereka akan mencetak uang 200 ribu, 500 ribu. Tapi tidak mungkin, komputer sudah tidak bisa menghitung. Kalkulator tidak bisa menghitung. Heng, terlalu banyak nolnya,” ujarnya dalam video tersebut.
Dan pilihan lain adalah memotong nol. Namun menurut Zaim, itu bukan solusi jangka panjang. “Pilihan kedua adalah digunduli nolnya, redenominasi. Jadi redenomasi itu bukan, Bukan untuk mengatasi inflasi, tapi untuk menutupi inflasi,” jelasnya.
Zaim menyimpulkan itu dalam istilah paling keras: “Jadi itu adalah pengelabuan di atas pengelabuan, di atas pengelabuan, di atas pengelabuan.”
Pernyataan 11 tahun lalu itu kini kembali dibahas publik karena tepat menyentuh inti kekhawatiran masyarakat: apakah target pemerintah menghilangkan 3 nol rupiah secara resmi pada 2026 benar-benar solusi ekonomi fundamental, atau hanya kosmetik angka?
Pertanyaannya kini berubah jauh lebih tajam: jika pemerintah bersiap melakukan redenominasi dalam 1–2 tahun lagi, apakah kritik “pengelabuan di atas pengelabuan” akan terbukti… atau justru akan terpatahkan oleh era baru sistem moneter Indonesia?***