bisnisbandung.com - Gaya komunikasi Presiden Prabowo Subianto yang dikenal santai dan penuh humor dinilai mampu menarik perhatian publik. Namun, pendekatan ini juga disebut berpotensi mengaburkan pesan-pesan kritis yang substantif terhadap pemerintahannya.
Menurut analisis pakar komunikasi politik Effendi Gazali, gaya "omon-omon" atau candaan khas Prabowo bisa menjadi alat komunikasi politik yang efektif.
Dengan pendekatan nonformal dan tanpa teks, Prabowo terlihat lebih dekat dengan rakyat dan mudah dipahami oleh khalayak luas. Gaya ini seolah menghilangkan sekat antara elite dan masyarakat biasa.
Baca Juga: Mahfud MD Bongkar Pola ‘Politik’ Vonis Hasto: Hukuman Ringan Demi Jaga Kekuasaan!
Namun di sisi lain, gaya ini dinilai memiliki risiko dalam konteks demokrasi, terutama ketika berkaitan dengan kritik substantif.
“Pak Prabowo lagi menyampaikan, bahwa yang demo itu misalnya dibiayai oleh koruptor, yang demo itu dibiayai oleh bangsa asing yang ingin mengadu domba kita. Kan itu harus kita cermati betul, kita cerna betul apa substansinya, gitu,” ucapnya dilansir dari youtube tvOneNews.
Beberapa kritik penting bisa saja kehilangan bobot karena terseret dalam narasi "nyinyir" yang sering digunakan oleh Presiden untuk menyebut pihak-pihak yang dianggap tidak membangun.
Baca Juga: Kriminolog Tidak Habis Pikir, Fakta Krusial Baru Diungkap Setelah 2 Minggu Kematian Arya Daru
Dalam teori komunikasi, pengelompokan kritik menjadi tiga jenis yaitu kritik asal bunyi, kritik tanpa solusi langsung, dan kritik yang disertai solusi membantu memahami posisi komunikasi publik. Ketika Presiden terlalu sering menyinggung pihak tertentu dengan narasi satir, ada risiko bahwa kritik dengan substansi kuat justru tidak terserap secara optimal.
Situasi ini diperparah oleh tudingan terhadap demonstran atau pengkritik yang dianggap dibiayai pihak asing atau koruptor.
Menurut Effendi Gazali, pernyataan seperti ini perlu disikapi hati-hati agar tidak menjadi pengalihan dari substansi permasalahan yang lebih besar, termasuk isu kedaulatan data pribadi atau kepentingan publik dalam kebijakan luar negeri.
“Tetapi kalau hal-hal yang terkait dengan kritik yang kita harus bicarakan sama-sama, menjadi tidak terlalu efektif,” ungkapnya.
Salah satu contoh yang disorot adalah kekhawatiran mengenai transparansi hasil negosiasi dengan Amerika Serikat terkait akses terhadap data digital warga Indonesia.
Kekhawatiran ini muncul setelah muncul pernyataan dari Presiden AS Donald Trump yang mengklaim memiliki akses luas terhadap data global, termasuk di Indonesia.