“Karena Joko Widodo tidak memiliki benar-benar keinginan untuk membikin mobil Esemka, ya. Karena dia hanya ingin menjadikan yang disebut dengan mobil SMK ini sebagai kendaraan politik untuk bisa terpilih menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta pada tahun 2012 yang lalu,” lanjutnya.
Ia menilai gagasan tersebut lebih digunakan sebagai alat kampanye untuk kepentingan elektoral Jokowi saat mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012, bukan sebagai program nyata yang ingin dibangun berkelanjutan.
Yang menarik, cerita ini terungkap dalam percakapan Roy Suryo dengan Dedi Sitorus, politisi PDIP yang sebelumnya dikenal berada di sisi politik yang berseberangan dengannya.
Prof. Ikrar menilai peristiwa ini mencerminkan perubahan sikap dan pergeseran aliansi dalam politik Indonesia, di mana mantan rival bisa saling memahami ketika memiliki kepentingan bersama, terutama dalam menghadapi kekecewaan atas praktik kekuasaan.***