Ia juga menekankan bahwa pesantren bukan sekadar tempat mengaji tetapi juga pusat pembentukan karakter dan kepribadian yang beradab.
“Adab ke orang tua, ke guru, ke masyarakat itu semua diajarkan di pesantren. Bahkan bilang ‘uh’ ke orang tua pun dilarang. Pendidikan karakter semacam ini sangat penting,” tegasnya.
Meski mendukung gagasan Gibran, Adi menegaskan bahwa pesantren bukan satu-satunya jalan untuk menanggulangi kenakalan remaja.
Menurutnya berbagai pendekatan lain juga perlu dijajaki tergantung konteks dan latar belakang anak-anak tersebut.
Baca Juga: Wow! Angga Dwimas Sasongko Siap Garap Film Thriller Internasional “Queen of Malacca”
“Kalau nggak cocok di pesantren, bisa ikut konseling, pelatihan, ekstrakurikuler, bahkan masuk barak seperti yang dilakukan Dedi Mulyadi di Jawa Barat,” ujar Adi.
Lebih lanjut Adi mengingatkan pentingnya upaya serius dalam membina generasi muda demi menyambut bonus demografi 2045.
Jika tingkat kenakalan remaja dibiarkan tinggi tanpa solusi menurutnya alih-alih menjadi kekuatan pembangunan anak-anak muda justru bisa jadi beban bangsa.
“Kalau nggak disiapkan sejak sekarang mimpi bonus demografi bisa jadi bumerang. Kita perlu inovasi nyata dan pesantren bisa jadi salah satu jalannya,” pungkasnya.***