bisnisbandung.com - Fenomena anak-anak tokoh politik menjadi kandidat potensial dalam pemilu semakin memancing perhatian publik.
Hendri Satrio, seorang pengamat politik, menyoroti tren yang dianggap mengarah pada praktik dinasti politik, di mana anak-anak mantan presiden atau tokoh besar lainnya sering kali digadang-gadang sebagai calon pemimpin masa depan.
“Dulu kan ada Jokowi, ada SBY, yang bukan siapa-siapa juga. Tapi kenapa kemudian anaknya SBY dianggap menjadi salah satu calon? Anaknya Jokowi salah satu calon? Anaknya Bu Mega salah satu calon?” ucapnya dilansir dari youtube Metro TV.
Baca Juga: Anies ke Pemerintah soal UU TNI, Jangan Buru-buru Libatkan Rakyat!
Situasi ini memunculkan kekhawatiran bahwa demokrasi Indonesia perlahan menyerupai sistem kerajaan. Dengan pola ini, posisi kepemimpinan terlihat seperti diwariskan secara turun-temurun.
Namun, Mahfud MD memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, pencalonan anggota keluarga tokoh besar bukanlah hal yang melanggar prinsip demokrasi.
Selama prosesnya terbuka dan tidak menutup peluang bagi kandidat lain, pencalonan tersebut dianggap sah dalam sistem demokrasi.
Ia menegaskan bahwa demokrasi memberi ruang bagi siapa saja untuk maju sebagai pemimpin, terlepas dari hubungan keluarga dengan tokoh politik tertentu.
Baca Juga: Tak Ada Nama Titipan! Rosan Roeslani Pastikan Danantara Berjalan Profesional
Meski demikian, kritik tetap muncul karena keterlibatan keluarga elite politik dalam pemilu sering kali dianggap memberikan keuntungan tersendiri, baik dalam hal popularitas maupun sumber daya.
Hal ini memunculkan persepsi ketimpangan kesempatan, terutama bagi kandidat dari kalangan non-dinasti politik.
Hendri Satrio juga menilai, praktik ini membuat masyarakat merasa seperti hidup dalam "republik rasa kerajaan." Sebab, posisi strategis dalam pemerintahan tampak lebih mudah diakses oleh anggota keluarga elite politik dibandingkan rakyat biasa.***
Baca Juga: Ikrar Nusa Bhakti: Revisi UU TNI dan Polri Bisa Hapus Supremasi Sipil!