Selain itu, Widodo juga menyoroti adanya elemen perhitungan yang tidak dimasukkan oleh jaksa, yaitu profit-sharing sebesar 65% kepada PTPN dan RNI dari laba operasi pasar.
Faktor ini seharusnya turut diperhitungkan dalam menentukan harga yang wajar, sehingga perhitungan yang hanya berpatokan pada HPP Rp8.900 tanpa menambahkan elemen tersebut dianggap menyesatkan dan tidak mencerminkan kenyataan di lapangan.
Widodo menegaskan bahwa perbandingan antara harga impor dan HPP yang tidak terealisasi tidak bisa dijadikan dasar yang valid untuk menghitung kerugian negara.
“Dan ada satu hal yang tidak dimasukkan dalam analisis ini. Ini ada epistemological break dalam penalaran hukum, yang menjadikannya sesat,” terangnya.
“Contoh, Kejaksaan atau JPU tidak menjelaskan mengapa target 200.000 ton tidak tercapai. Mengapa gagal? Itu tidak dijelaskan. Padahal, pemahaman tentang kegagalan ini sangat penting untuk melihat alasan mengapa akhirnya impor dilakukan di era Tom Lembong,” jelasnya.***
Baca Juga: Menteri Pariwisata Widiyanti Sentil Dedi Mulyadi, Jangan Bongkar Wisata Puncak Sepihak!