LARANGAN impor barang jadi termasuk parfum justru membawa berkah buat Syarif Salim Bahanan. Kebijakan itu malah mengantarkan penjual minyak wangi impor ini jadi produsen parfum.
Dengan mengibarkan merek dagang Dobha, pria kelahiran Bogor, 19 Juli 1984, ini memproduksi parfum sejak 2014 lalu. Kini, rata-rata penjualannya saban bulan berkisar 100.000 hingga 200.000 botol. “Omzet per bulan sekitar Rp 3 miliar,” imbuh Syarif.
Buat lulusan sekolah menengah atas (SMA) ini, parfum memang bukan dunia baru. Orangtuanya merupakan pedagang parfum sekaligus oleh-oleh haji. Selepas SMA, ia membantu di toko milik orangtuanya di Bogor selama 17 tahun.Baru pada 2012, Syarif memberanikan diri membuka toko parfum sendiri. Tentu, dengan restu orangtuanya. Dia memberi nama gerainya: Toko Marhaban, dan menjual parfum impor asal Jeddah, Arab Saudi.
Dua tahun kemudian, pasokan parfum mulai terganggu. Soalnya, pemerintah melarang impor barang jadi, termasuk parfum. Alhasil, parfum impor enggak boleh masuk ke Indonesia. “Banyak kontainer yang ketahan di pelabuhan,” kata Syarif yang mendapat pasokan parfum dari importir.
Buntutnya, stok parfum di Toko Marhaban banyak yang kosong. Walhasil, tak sedikit pelanggan kecewa gara-gara tidak bisa membeli minyak wangi. Lalu, muncul ide untuk membuat parfum sendiri.
Bermodal uang Rp 19 juta, Syarif merealisasikan ide tersebut. Sebanyak Rp 15 juta untuk sewa toko dan sisanya Rp 4 juta buat membeli bahan baku, kemasan, serta lainnya. Dan sejatinya, uang itu merupakan hasil penjualan parfum yang belum ia setorkan ke pemasok.
“Saya telepon pemilik parfum, namanya Abdul Aziz. Saya bilang, saya sudah pegang uang bapak tapi mau pinjam dulu untuk modal usaha. Dia membolehkan,” jelas Syarif.
Untuk bahan baku parfum, dia mendatangkan dari Prancis lalu meraciknya lewat proses yang tidak mudah, tentu. Apalagi, ia langsung membuat lima wewangian sekaligus.
Sebab, Syarif ingin menghasilkan parfum berkualitas sama dengan produk impor yang selama ini dia jual. Jelas, dengan kemasan botol yang apik pula. “Prinsip ATM (amati, tiru, dan modifikasi). Tapi untuk kualitas, saya tidak ada kompromi, harus baik,” tegasnya.
Setelah produk jadi, Syarif melakukan tes pasar kecil-kecilan. Ia pun keliling dari satu toko ke toko lain untuk menguji coba produknya. Ini guna mencari tahu, apakah pelanggan toko itu cocok atau tidak dengan parfum buatannya.
Ternyata, sambutannya sangat positif. Terlebih, Syarif menjual produknya dengan harga lebih murah tapi kualitas sama dari barang impor. “Dari situ kami dapat kepercayaan pelanggan,” katanya yang kemudian menggulirkan roda usaha berbendera Dobha.
Kata Dobha dia ambil dari Surat Al-’Adiyat yang artinya terengah-engah. “Kalau cium parfum, kan, sekali dua kali endus, persis kayak sedang terengah-engah,” jelas Syarif.
Begitu penjualan tokonya bagus, ia pun mulai memberanikan diri memasukkan produknya ke gerai parfum yang ada di Jakarta. “Saya pergi ke Tanah Abang, bawa beberapa contoh. Barang saya diterima di salah satu toko parfum dan bisa masuk ke sana,” ujar dia.Ternyata, penjualannya bagus. Di bulan pertama, satu dus parfum habis. Pada bulan kedua, hanya tersisa sedikit. Tapi di bulan ketiga, muncul masalah gara-gara yang mengelola toko berganti. Tidak ada satu pun parfum yang laku.
Bagi Syarif, itu tidak jadi problem sebenarnya. Yang jadi masalah, pengelola toko tersebut mengembalikan barang tanpa kardus sehingga berserakan dan banyak yang hancur. “Saya kalau begini berdoa saja kepada Allah dan mungkin ini jalan Allah untuk meninggikan derajat saya,” sebutnya.