KEBERADAAN teknologi dirancang untuk memudahkan manusia, tak terkecuali smartphone. Para ilmuwan tak yakin, smartphone bisa membuat kinerja otak rusak.
Namun, mereka percaya bahwa penggunaan smartphone yang berlebihan bisa menimbulkan perilaku obsesif, seperti ketergantungan hingga mengarah pada depresi.
Hal ini tidak dimungkiri karena pengguna seringkali mendapatkan notifikasi dari smartphone.
Misalnya, notifikasi membangunkan pengguna dari tidurnya, notif email masuk ke inbox, notifikasi grup obrolan di lingkungan kerja, dan lain-lain.
Gangguan-gangguan tersebut sebenarnya bertujuan baik, yakni membuat pengguna tidak ketinggalan informasi. Namun ternyata badan punya pandangan lain.
Pasalnya, notifikasi-notifikasi ini bisa meningkatkan level stress, detak jantung kencang, kelenjar keringat terbuka, dan lain-lain.
Padahal, respon-respon ini sebenarnya dimaksudkan untuk membantu pengguna mengatasi bahaya, bukannya menjawab panggilan atau SMS dari kolega.
Hasil penelitian pun menyebutkan, 89 persen mahasiswa merasa ada getaran smartphone yang memanggil-manggil mereka meskipun smartphone tak benar-benar menampilkan notifikasi. Sebenarnya itu hanya respon palsu dari tubuh.
Kemudian, 86 persen orang Amerika mengatakan, mereka secara konstan aktif mengecek email dan akun medsos dan hal ini dirasa meningkatkan level stress.
Ahli Endokrin Robert Lustig mengatakan, notifikasi dari smartphone membuat manusia melatih otak untuk berada dalam kondisi stress dan ketakutan.
Kondisi seperti itu membuat bagian di otak yang berhubungan dengan fungsi kognitif (korteks prefrontal) berada dalam kondisi rusak.
"Kemudian, kamu akan melakukan hal-hal bodoh, dan itu cenderung membuatmu dalam masalah," kata Lustig, dikutip BB dari Business Insider, Minggu (3/3/2019).
Otak Hanya Bisa Mengerjakan Satu Hal dalam Satu Waktu
Selama betahun-tahun, para ilmuwan percaya bahwa manusia tak benar-benar multi-tasking. Bahkan, menurut ilmuwan, hanya 2,5 persen orang yang memiliki kemampuan multi-tasking alias melakukan beberapa hal sekaligus.
Misalnya saja, mereka bisa menyetir sambil mengemudi dengan normal tanpa mengorbankan kemampuan untuk menggeser persneling.