bisnisbandung.com - Keputusan partai politik menonaktifkan lima anggota DPR belakangan menuai perhatian publik. Meski statusnya dinyatakan nonaktif, para legislator tersebut ternyata tetap menerima gaji dan tunjangan bulanan.
Yang ditangguhkan hanyalah pelaksanaan fungsi mereka sebagai anggota dewan, seperti mengikuti rapat maupun kunjungan kerja.
Menurut pakar hukum tata negara Margarito Kamis, nonaktif dalam konteks DPR tidak otomatis menghilangkan hak-hak keuangan anggota dewan.
Baca Juga: Unisba Bantah Jadi Target Polisi Saat Kerusuhan Tamansari Bandung
Status mereka sebagai legislator tetap melekat, sementara ruang gerak politik dan kewenangan formalnya yang dibatasi.
“Status mereka tetap sebagai anggota DPR. Fungsinya sebagai anggota DPR itu yang ditangguhkan pelaksanaannya, ya dinonaktifkan itu. Karena itu hak-haknya semua dapat,” terangnya dilansir dari youtube tvOneNews.
Hal ini membuka peluang terjadinya polemik hukum maupun politik jika para anggota DPR yang dinonaktifkan menolak mundur.
Margarito mencontohkan bahwa sengketa serupa pernah terjadi dalam kasus Fahri Hamzah, yang berujung panjang hingga ke Mahkamah Agung.
Baca Juga: Salsabila Syaira Soroti Tragedi di Unpas dan Unisba, Desak Gelar Pahlawan untuk Mahasiswa
Ia menilai situasi saat ini berpotensi menimbulkan persoalan serupa apabila ada anggota DPR nonaktif yang melanjutkan sengketa hukum terhadap keputusan partai atau Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Selain itu, Margarito menyoroti bahwa pernyataan maupun sikap sejumlah anggota DPR yang viral di publik masuk dalam ranah pelanggaran etik.
Menurutnya, ucapan dan perilaku yang dianggap merendahkan masyarakat jelas bertentangan dengan kewajiban etik anggota dewan sebagaimana diatur dalam UU MD3 dan kode etik DPR.
Kasus ini memperlihatkan bahwa tanggung jawab moral anggota DPR jauh lebih besar dibandingkan masyarakat biasa.
Baca Juga: Ferry Irwandi Kritik Kerusuhan di Tamansari Bandung: Buka Mata Anda!