Bisnisbandung.com - Pengurangan hukuman terhadap terpidana kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto, memicu kekhawatiran dari berbagai kalangan.
Salah satunya datang dari pegiat media sosial, Alifurrahman, yang mempertanyakan motif di balik pemangkasan masa hukuman tersebut.
Alifurrahman menyoroti bahwa vonis awal 15 tahun terhadap Setya Novanto kini dikurangi menjadi 12,5 tahun, yang menurutnya membuka peluang bebas lebih cepat.
Dengan adanya kemungkinan tambahan remisi dan pengampunan, Setya Novanto diperkirakan bisa menghirup udara bebas pada 2029 atau bahkan sebelumnya.
Baca Juga: Kuasa Hukum Sebut Denden Dan Tim Melakukan Tugasnya: Hanya Satu, Dua yang Diloloskan
Dalam pandangannya, pengurangan hukuman ini berpotensi membuka ruang bagi Setya Novanto untuk kembali terlibat dalam perhelatan politik nasional, khususnya menjelang Pemilu 2029.
“Meskipun nanti misalkan ada hukuman terkait dia tidak boleh ikut berpartisipasi dalam urusan politik dan sebagainya, tapi soal logistik yang dimiliki oleh Setnov ini nampaknya memang masih sangat besar sekali,” ungkapnya dilansir dari youtube Sewor d TV.
Mungkin secara hukum ada pembatasan partisipasi politik, namun ia menilai bahwa kekuatan logistik dan pengaruh Setya Novanto masih cukup besar untuk berperan di balik layar.
“Sehingga ketika Setnov nanti bebas, dia bisa berada di belakang layar untuk ikut meramaikan pemilu di tahun 2029. Ini kepentingan siapa dan siapa yang paling diuntungkan, itu bahasannya terpisah nanti,” sambungnya.
Baca Juga: Ada Restu Pimpinan untuk Backing Situs Judi Online, Budi Arie dalam Sorotan
Alifurrahman menyampaikan kekhawatiran bahwa kehadiran tokoh politik dengan rekam jejak korupsi seperti Setya Novanto, meski tidak tampil di permukaan, tetap bisa memengaruhi arah politik nasional melalui jaringan dan kekuatan sumber daya yang dimiliki.
Ia menilai bahwa publik perlu mewaspadai kemungkinan keterlibatan seperti itu karena dampaknya terhadap integritas pemilu bisa signifikan.
Lebih jauh, Alifurrahman juga menyoroti ketimpangan perlakuan hukum. Ia mempertanyakan mengapa narapidana korupsi bisa mendapatkan pemotongan hukuman secara terus-menerus, sementara masyarakat biasa tidak pernah merasakan kemudahan serupa dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Kuasa Hukum Jokowi Nilai Laporan Ijazah Palsu Tak Penuhi Syarat Legal Standing