Bisnisbandung.com - Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, melontarkan kritik keras terhadap Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) terkait persoalan data pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dinilai tidak akurat.
Persoalan ini dinilai sebagai pangkal dari kebijakan ketenagakerjaan yang tidak tepat sasaran.
Menurut Said Iqbal, Kemenaker hanya mengandalkan data pasif dari dinas ketenagakerjaan daerah yang tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi nyata.
Banyak perusahaan, kata dia, tidak melaporkan PHK karena khawatir dengan implikasi hukum terkait pajak, limbah B3, dan hak-hak pekerja yang belum dibayarkan.
Baca Juga: Mungkinkah Tesla Bisa Lebih Stabil Tanpa Elon Musk? Analisis CEO Corporate Innovation Asia
Akibatnya, data resmi yang digunakan pemerintah sangat minim dan tidak mencerminkan realitas di lapangan.
Sebagai contoh, data awal yang disampaikan Kemenaker menyebutkan hanya ada 26.000 pekerja yang terkena PHK. Setelah mendapat tekanan dari berbagai pihak, angka itu diperbarui menjadi 34.000.
Namun, data KSPI sendiri menyebut jumlahnya mencapai sekitar 70.000 pekerja lengkap dengan identitas, alamat perusahaan, dan rincian jumlah karyawan terdampak.
“Nah, data ini menyebabkan ketika mengambil keputusan, salah,” tegasnya dilansir Bisnis Bandung dari youtube Indonesia Lawyers Club.
“Yang paling gampang itu data Jaminan Kehilangan Pekerjaan di BPJS Ketenagakerjaan. BPJS melansir 52 koma sekian ribu orang sudah mengambil JKP. Itu pasti PHK. Berarti kan yang sudah PHK 52.000,” terusnya.
Data dari BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan lebih dari 52.000 pekerja telah mengajukan klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yang secara langsung menunjukkan jumlah nyata korban PHK.
Ketimpangan data ini menunjukkan adanya kesenjangan serius dalam pengelolaan informasi ketenagakerjaan oleh pemerintah.