Bisnisbandung.com — Revisi Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) yang kini tengah dibahas di DPR menjadi sorotan tajam dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Lembaga ini menilai substansi dalam draf terbaru justru memperbesar kekuasaan kepolisian, alih-alih memperkuat pengawasan dan akuntabilitas institusi penegak hukum itu.
“Reformasi yang dibutuhkan Polri adalah pembenahan sistem, bukan penambahan kewenangan,” ujar peneliti ICJR, Iftitah Sari, dalam pernyataannya kepada media, awal pekan ini.
Baca Juga: Bansos Hanya untuk yang Sudah Vasektomi? Mensos Saifullah Yusuf Minta Dedi Mulyadi Jangan Gegabah
Menurutnya, RUU tersebut gagal menjawab permasalahan utama yang selama ini melekat pada tubuh kepolisian: lemahnya pengawasan dan minimnya akuntabilitas.
ICJR menyoroti bahwa draf RUU Polri tidak mencantumkan agenda pembenahan sistem pengawasan internal dan eksternal, reformasi pendidikan kepolisian, hingga tata kelola mutasi personel.
Padahal, aspek-aspek ini penting untuk meningkatkan profesionalitas dan kepercayaan publik terhadap aparat.
Baca Juga: Jasa Beliau Tak Terhitung Prabowo Akui Peran Jokowi dalam Surplus Beras Indonesia
“Dalam draf terbaru, justru muncul banyak ketentuan soal upaya paksa baru oleh polisi, padahal ranah itu seharusnya diatur melalui KUHAP,” jelas Iftitah.
Ia menilai, perluasan kewenangan tersebut dapat menimbulkan risiko penyalahgunaan jika tidak dibarengi dengan sistem pengawasan yang ketat.
Salah satu pasal kontroversial yang mendapat kritik adalah bunyi Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
"Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya."
Baca Juga: Prabowo Janji Hapus Outsourcing, Pengamat Politik: Saya Tidak Percaya!
Dalam versi terbaru, pasal ini mengatur wewenang Polri untuk membina dan mengawasi seluruh penyidik di luar institusinya.