“Wajar Gibran dikritik agresif. Dari awal dia dianggap calon karbitan,” tambahnya.
Namun Adi juga menyatakan narasi politik dari seorang wakil presiden bukanlah hal yang salah.
“Pemimpin itu wajib bicara. Tapi ya jangan berhenti di narasi. Harus diwujudkan,” tegasnya.
Sementara itu Anies Baswedan menanggapi isu bonus demografi lewat cuitannya di X.
Baca Juga: Merapatkan Barisan: Sinyal Kepemimpinan atau Kekhawatiran di Kabinet Prabowo?
Meski tidak menyebut nama Gibran secara langsung, isi tweet-nya dianggap sebagai tanggapan tak langsung.
“Anak muda bukan sekadar angka. Mereka harus diberi akses, diberdayakan, dan disiapkan dengan pendidikan yang baik agar kompetitif,” tulis Anies.
Anies juga menyoroti tren migrasi anak muda dari desa ke kota yang menurutnya terjadi karena minimnya harapan hidup di daerah.
Namun ia mengingatkan, “Di kota besar pun belum tentu ada jaminan hidup layak.”
Baca Juga: Data Finansial Indonesia Dipertaruhkan? QRIS dan GPN Jadi Taruhan dalam Negosiasi Dagang RI-AS
Menurut Adi baik Deddy maupun Anies menyampaikan hal-hal yang relevan meski dengan pendekatan berbeda.
“Anies bicara dengan gaya pendidik, solutif. Deddy lebih politis dan frontal. Gibran? Ya harus dua-duanya: bicara dan bekerja,” ujarnya.
Adi menambahkan perdebatan soal bonus demografi ini semestinya tidak berhenti di permukaan.
“Kita perlu tanya, apa yang sudah dilakukan negara untuk mempersiapkan generasi muda? Bukan cuma soal video atau tweet, tapi kebijakan konkret,” tutupnya.***