bisnisbandung.com - Setelah skandal korupsi di Pertamina yang nilainya hampir menyentuh angka kuadriliun, kini giliran PT PLN (Persero) yang terseret dalam kasus dugaan korupsi dengan nilai fantastis, mencapai triliunan rupiah.
Kali ini, kasus tersebut diungkap oleh Kortas Tipikor Polri, sebuah lembaga yang baru dibentuk di Mabes Polri.
Jurnalis senior Hersubeno Arief menyoroti fenomena ini sebagai sebuah perlombaan antara lembaga penegak hukum untuk menunjukkan keseriusan mereka dalam memberantas korupsi.
Baca Juga: Geger! Ketua Bawaslu Bandung Barat Diciduk Polisi Saat Pesta Sabu, Ini Kronologinya!
“Jadi, sekarang aparat penegak hukum seakan saling berlomba menunjukkan bahwa mereka serius bekerja membongkar korupsi yang menyedihkan ini,” ujarnya dilansir dari youtube Hersubeno Poin.
Menurutnya, setelah Kejaksaan Agung berhasil membongkar kasus korupsi di Pertamina, kini giliran Polri yang unjuk gigi dengan menyelidiki kasus besar di PLN.
Ia juga menyoroti bahwa di tengah pengungkapan kasus bernilai triliunan rupiah ini, KPK justru terlihat sibuk dengan kasus Hasto Kristiyanto.
Baca Juga: Kasus Bank BJB Panas! Ridwan Kamil Buka Suara Usai Rumahnya Digeledah KPK
“Sementara KPK, yang tadinya didesain untuk membongkar kasus korupsi besar yang tidak bisa ditangani oleh Polri dan Kejaksaan Agung, sekarang malah sibuk berkutat dengan kasus dugaan suap Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto,” terangnya.
Kasus dugaan korupsi ini berkaitan dengan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 di Kalimantan Barat yang mangkrak sejak tahun 2016.
Proyek tersebut dimulai sejak 2008 di bawah kepemimpinan Fahmi Mukhtar sebagai Direktur Utama PLN saat itu. Kerugian negara dari proyek ini diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun.
Dalam proyek ini, pemenang lelang adalah PT BRN, namun belakangan diketahui bahwa perusahaan tersebut tidak memenuhi persyaratan kualifikasi administrasi dan teknis.
Baca Juga: Heboh! Kasus Bank BJB, KPK Geledah Rumah Ridwan Kamil
Anehnya, meskipun tidak memenuhi syarat, kontrak tetap diteken dengan nilai sekitar 80 juta dolar AS dan Rp507 miliar, yang jika dikonversi ke nilai saat ini bisa lebih tinggi.