Tantangan berikutnya adalah lapangan pekerjaan. Raymond menyoroti kesalahan strategis di masa lalu yang menyebabkan deindustrialisasi prematur.
Pada satu titik, Indonesia pernah menjadi pemain utama dalam ekspor komputer, tetapi kini industri tersebut nyaris hilang.
Ia mengaitkan hal ini dengan fenomena "Dutch Disease" yang membuat Indonesia kehilangan potensi besar dalam sektor manufaktur.
Kurangnya investasi asing langsung (FDI) menjadi akar masalah yang memperburuk kondisi ini. Ketidakpastian hukum dan politik, serta rendahnya keterampilan tenaga kerja akibat stagnasi sejak tahun 2000-an, membuat investor global enggan menanamkan modalnya di Indonesia.
Baca Juga: Kepala Sekolah SMAN 1 Cianjur Dinonaktifkan Dedi Mulyadi Buntut Study Tour
Namun, Raymond melihat Danantara sebagai peluang besar untuk membalikkan keadaan.
Dengan jumlah dana yang luar biasa besar dan rencana investasi di empat sektor strategis, ia optimis bahwa inisiatif ini dapat menjadi solusi bagi permasalahan mendasar Indonesia.
Jika dikelola dengan baik, program ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8%, sekaligus membuka lebih banyak peluang kerja dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia.
“Dana yang terkumpul luar biasa gede, masuk ke Indonesia, yang konon mau diinvestasikan di empat tempat strategis. Harusnya bisa solve tiga masalah itu. Nge-push ekonomi yang kita dambain selama ini, yaitu 8%,” pungkas Raymond Chin.***
Baca Juga: Selamat Ginting Bongkar Dugaan Pelanggaran Pemerintahan Prabowo: Sengaja atau Dimanfaatkan?