bisnisbandung.com - Kasus korupsi Harvey Moeis memicu perdebatan publik. Harvey, terdakwa dalam kasus korupsi tata niaga timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun, divonis hanya 6 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.
Vonis ini mendapat sorotan tajam dari jurnalis senior Hersubeno Arief, yang menilai hukuman tersebut mencerminkan ketimpangan keadilan di Indonesia.
Dalam pandangannya, Hersubeno menilai bahwa kasus Harvey Moeis adalah contoh nyata bagaimana sistem hukum di Indonesia lebih berpihak kepada mereka yang memiliki kekuatan finansial.
Baca Juga: KPK Angkat Bicara Soal Isu Hasto Kristiyanto Jadi Tersangka, Ini Faktanya
“Memang masih sangat panjang perjalanan bangsa ini untuk berharap adanya keadilan, terutama untuk mereka-mereka yang tidak berpunya. Sementara untuk koruptor, mereka seolah berhak sepenuhnya untuk mendapatkan keadilan,” ungkapnya dilansir dari youtube Hersubeno Point.
Ia menyoroti alasan hakim yang meringankan hukuman Harvey, seperti sopan di persidangan, memiliki tanggungan keluarga, dan belum pernah dihukum sebelumnya, sebagai dalih yang tidak relevan untuk korupsi sebesar ini.
Menurut Hersubeno, pelaku korupsi kelas kakap sering kali mendapatkan hukuman ringan dengan berbagai alasan
Ia bahkan menyindir bahwa jika seseorang ingin korupsi dalam jumlah besar, cukup meniru strategi Harvey: bersikap sopan, memohon belas kasihan hakim, dan mengaku memiliki tanggungan keluarga.
“Kalau Anda terlibat dalam korupsi dalam jumlah yang sangat besar dan kemudian Anda ditangkap oleh Jaksa atau KPK hingga menjadi terdakwa, baiknya Anda mulai menerapkan jurus yang ditempuh oleh Harvey Moeis,” sindirnya.
Hersubeno juga menyoroti ironi besar dalam sistem hukum Indonesia. Vonis ringan terhadap Harvey Moeis, yang merugikan negara hingga Rp300 triliun, sangat kontras dengan hukuman berat yang sering dijatuhkan pada pelaku kejahatan kecil.
Ia mempertanyakan bagaimana vonis semacam ini bisa memberikan efek jera, terutama bagi koruptor yang memiliki kekayaan besar untuk membayar denda atau mengganti kerugian negara.
Lebih lanjut, Hersubeno menilai bahwa pengurangan hukuman sering kali menjadi "bonus" bagi pelaku korupsi kelas atas.
Baca Juga: Siapa yang Mengobok-obok PDIP? Adi Prayitno Ungkap Analisa Politik Terkini