"Seharusnya, seorang pemimpin di ujung masa jabatan tidak membuat kebijakan strategis, apalagi yang kontroversial seperti ini. Ada dugaan kuat Jokowi menerima manfaat ekonomi dari kebijakan ini," ungkap Refly Harun.
Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan ini bisa melanggar Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), di mana penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan pihak lain atau korporasi dapat dipidana.
Selain dampak geopolitik Refly Harun juga menyoroti dampak ekonomi dan lingkungan dari kebijakan ini.
Menurutnya, nelayan di wilayah pesisir terutama yang berdekatan dengan Singapura, akan kehilangan mata pencaharian karena rusaknya ekosistem laut akibat pengambilan pasir.
Baca Juga: Rektor Unikom Prof. Dr. Ir. H. Eddy Soeryanto Soegoto., MT., dilantik menjadi Pj. Ketua APTISI Jabar
"Ekspor pasir atau sedimentasi laut ini sama saja dengan kejahatan besar terhadap lingkungan. Ekosistem laut rusak, nelayan dirugikan. Ini adalah bentuk kedunguan hakiki," tegas Refly Harun.
Refly Harun mendesak agar pemerintahan yang baru nantinya segera menghentikan kebijakan ini.
Ia berharap pemerintahan mendatang lebih tegas dalam menjaga kedaulatan Indonesia dan tidak tergoda keuntungan jangka pendek yang merugikan negara.
"Kalau pemerintahan baru tidak menghentikan praktik seperti ini maka yang namanya pemberantasan korupsi hanya sekadar omong kosong. Kebijakan ini harus dihentikan dan pihak-pihak yang diuntungkan harus diusut," tutup Refly Harun.***