“Ya, kita bisa lihat sendiri, begitu banyak hukum-hukum agama yang dilanggar, hukum-hukum adat yang dilanggar, ya kita biarkan saja. Padahal itu amanat dari Undang-Undang ITE Pasal 40 ayat 2A dan 2B,” sambungnya.
Ini menunjukkan lemahnya kedaulatan digital nasional atau digital sovereignty, sehingga regulasi yang ada perlu diperkuat dan diperluas.
Prof. Henri juga membandingkan dengan kebijakan digital di negara lain. Tiongkok, yang dulu dikritik karena ketatnya pengawasan digital, kini justru menjadi acuan bagi negara-negara besar seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Bahkan, AS baru saja menerapkan undang-undang ketat terkait penyalahgunaan konten seksual seperti revenge porn, yang menandakan kesadaran global bahwa kebebasan digital harus diimbangi dengan kontrol hukum.
Ia menegaskan bahwa Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan UU ITE yang membebankan tanggung jawab kepada individu.***
Baca Juga: Relokasi SLB Pajajaran Jadi Perhatian Serius Gubernur Dedi Mulyadi
Artikel Terkait
Lawan Dampak Negatif Digital, Menkominfo dan Dedi Mulyadi Perkuat Perlindungan Anak Lewat PP Tunas
Indonesia Belum Siap Hadapi Budaya Digital Politik? Singgung Meme yang Dipermasalahkan
“Uang Tunai Godaannya Banyak” Dedi Mulyadi Ingin Hanya Transaksi Digital di Koperasi Merah Putih
Di Balik Pengawalan Ketat Kejaksaan, Mahfud MD Sebut Pesan Tegas Presiden Prabowo
Ungkap Dugaan Korupsi Luar Biasa di Sumenep, Maruarar Sirait: Saya Anak Buah Prabowo!
“Kalau Tidak Becus Segera Ganti” Pegiat Anti Korupsi Minta Presiden Prabowo Tegas Demi Basmi Korupsi