bisnisbandung.com - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan untuk memberhentikan Ummi Wahyuni dari jabatannya sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat.
Keputusan ini diambil setelah DKPP menemukan adanya pelanggaran kode etik terkait manipulasi data hasil pemilu di Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Barat 9, yang meliputi Kabupaten Sumedang, Majalengka, dan Subang.
Dosen Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad), Rully Herdita Ramadhani, memberikan pandangannya terkait kasus manipulasi suara dalam pemilu yang melibatkan Ketua KPU Jawa Barat, Ummi Wahyuni tersebut.
Baca Juga: Kejaksaan Agung Sita Rp288 Miliar, PT Duta Palma Terlibat Kasus Pencucian Uang Besar-besaran
Tindakan manipulasi ini dianggap merugikan salah satu calon legislatif, sekaligus mencederai prinsip kejujuran dan keadilan dalam proses demokrasi. Apakah pelanggaran seperti ini hanya sebatas sanksi etik, atau dapat diproses lebih jauh ke ranah pidana?
Menurut Rully, potensi masuknya kasus seperti ini ke ranah pidana tergantung pada apakah tindakan tersebut memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam hukum pidana, khususnya Undang-Undang Pemilu.
Rully menjelaskan bahwa tindak pidana pemilu diatur secara spesifik dalam Bab II Undang-Undang Pemilu (UU No. 7 Tahun 2023), yang mencakup Pasal 488 hingga Pasal 554.
Jika manipulasi suara memenuhi rumusan delik dalam UU tersebut, maka pelaku dapat dikenakan sanksi pidana.
Baca Juga: Felicia Mantan Kaesang Dighosting Tampil dengan Jaket PDIP, Hersubeno: Ada Kode Politik Apa?
“Pada saat diketahui adanya dugaan pelanggaran pemilu berupa ‘manipulasi suara’, maka rumusan delik pasal berapakah dalam UU Pemilu yang mencocoki?” ungkapnya ketika dihubungi Tim Redaksi Bisnis Bandung.
“Sehingga atas perbuatan tersebut, maka terduga pelaku ‘manipulasi suara’ dapat dijerat pidana berdasarkan UU Pemilu tersebut,” lanjutnya.
Hal ini menggarisbawahi bahwa pelanggaran pemilu tidak hanya berdampak administratif atau etik, tetapi juga berpotensi menjadi tindak pidana jika ada unsur melawan hukum yang jelas.
Ia menekankan bahwa mekanisme penanganan dugaan pelanggaran pemilu dimulai dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Baca Juga: Tifatul Sembiring Ketua Dewan Penasehat PKS: Sistem Pilkada Ini Sudah Tidak ‘Make Sanse’
Artikel Terkait
Bansos Dinarasikan Sebagai Kecurangan Pilkada, Irma Suryani: Masyarakat Tidak Terpengaruh
Muncul Upaya Operasi Gagalkan Pilkada Jakarta Satu Putaran, Rudi S Kamri Singgung Ridwan Kamil
Ketua KPU Jabar Ummi Wahyuni Dicopot, Bagaimana Nasib Pilkada Jabar?
Deddy Sitorus Sindir Taktik Politik versi ‘Mulyonoisme’: Mohon Maaf Banteng Tidak Tumbang di Pilkada
PDIP Tuding ‘Parcok’ Terlibat di Pilkada 2024, Adian Napitupulu: Gampang Kok Nyarinya Googling Saja
Tifatul Sembiring Ketua Dewan Penasehat PKS: Sistem Pilkada Ini Sudah Tidak ‘Make Sanse’