Ia melihat bahwa penggunaan ancaman sebagai alat kendali mencerminkan kekuasaan yang dijalankan dengan cara yang sering kali melewati batas-batas koridor yang seharusnya ada dalam demokrasi.
Meskipun demikian, Ia mengakui bahwa kecerdikan Jokowi dalam mengelola kekuasaan sudah terlihat sejak awal karier politiknya.
Kemampuannya untuk menggabungkan berbagai sumber daya dan membangun loyalitas di sekitarnya menjadi faktor penting dalam mempertahankan posisinya sebagai pemimpin nasional selama dua periode.
Baca Juga: Cerita Dibalik Anies Tolak Tawaran PDIP untuk Maju di Pilgub Jawa Barat, Pendukunganya Menanti-nanti
“Kekuasaan digunakan sebagai alat kendali, dan kepemimpinan dibangun di atas pondasi kekuasaan yang sering kali bekerja tanpa koridor,” ungkapnya.
“Itulah yang saya lihat, saksikan, dan rasakan dari Jokowi sebagai presiden, presiden kami, presiden rakyat Indonesia, Presiden Republik Indonesia,” sambungnya.
Dalam refleksinya, Eep Saefulloh membagi kenangan tentang Jokowi menjadi dua periode: masa jabatan pertama (2014-2019) dan masa jabatan kedua (2019-2024).
Menurutnya, kedua periode ini menunjukkan evolusi dari gaya kepemimpinan Jokowi, di mana kecerdikan dan kemampuan mengendalikan kekuasaan semakin terlihat.***
Baca Juga: Asosiasi TV Lokal Indonesia (ATVLI) Gelar Rakernas 2024, Siap Hadapi Tantangan Digitalisasi
Artikel Terkait
Amien Rais Menganggap Jokowi Sebagai “Presiden Bebek Lumpuh”
Anies Bukan Musuh Negara, Tapi Dimusuhi Jokowi, Rocky Gerung Sarankan Agar Buat Partai
Posisi Politik Pramono Anung Antara Jokowi atau PDIP? Rocky Gerung Mempertanyakan
BBM Subsidi Dibatasi Mulai 1 Oktober, Jokowi Ungkap Alasan Utamanya
Pilihan Berlimpah di Pilkada 2024, Jokowi Sebut Proses Demokrasi Semakin Terbuka
Tiba-Tiba Jokowi Minta RUU Perampasan Aset Disahkan, Rocky Gerung: Langkah Cerdas atau Manipulatif